Vaksin Nusantara Terus Dicibir Epidemiolog UI Tapi Elu-elukan Vaksin Impor, Produsen Vaksin Dunia Sumringah

28 September 2021, 06:35 WIB
Ilustrasi. Epidemiolog UI elu-elukan vaksin konvesional, terus cibir Vaksin Nusantara. / Pixabay/geralt/

 

GALAMEDIA - Epidemiolog Univesitas Indonesia (UI) Pandu Riono menuding Vaksin Nusantara tidak jujur dan tidak melakukan pendekatan sains.

Hal tersebut diungkapkan Riono melalui akun Twitter @drpriono1, Senin, 27 September 2021.

Pernyataan tersebut dimaksudkan dalam menanggapi pernyataan, "Sama-sama diklaim besutan anak bangsa, vaksin Nusantara dan vaksin Merah Putih nyaris selalu diperbandingkan. Yang satu direstui BPOM, dan yang satunya tidak".

Terkait hal itu, ia menilai, Vaksin Merah Putih dikembangkan dengan mengikuti prosedur sains yang standar.

"Vaksin Merah-Putih dikembangkan dengan mengikuti prosedur sains yg standard. Vaksin Nusantara, sejak ide awal, tidak jujur dan pilih dukungan politik, bukan sains," ujarnya.

Bahkan, Riono pun pernah menuding ada pembohongan publik dari Vaksin Nusantara, besutan mantan Menkes dr Terawan Agus Putranto. Bahkan pembohongan kepada Presiden Jokowi karena adanya klaim sebagai karya anak bangsa.

"Jelas ada pembohongan publik, juga pada Presiden @jokowi, anggota @DPR_RI dengan klaim sebagai karya anak bangsa Indonesia. Ternyata vaksin nusantara adalah penelitian asing, tidak ada ijin dari @KemenristekBRIN dan menggunakan anggaran @KemenkesRI. Masih mau terus dibohongi?," ujarnya pada 14 April 2021.

Baca Juga: Gatot Nurmantyo Tuding PKI Susupi Tubuh TNI, Pangkostrad Letjen TNI Dudung Abdurachman 'Ngamuk': Jadi Fitnah!

Di sisi lain, Riono terus mengelu-elukan vaksin konvesional yang notabene vaksin impor.

"Dampak cakupan VAKSINASI menggembirakan. Semakin tinggi cakupan vaksinasi, dapat menekan kasus harian, kasus yg perlu dirawat (hospitalisasi) dan penurunan Angka Reproduktif efektif. Ayo tingkatkan cakupan di wilayah masing2 agar pandemi terkendali," ujarnya, Senin, 27 September 2021.

Salah seorang anggota Tim Peneliti Vaksin Nusantara, Profesor Chairul Nidom menyayangkan dengan adanya pernyataan sinis dari kolega-koleganya itu. Tak hanya Riono, ada sejumlah dokter yang membuat pernyataan senada.

Ahli virus ini mengaku tidak yakin vaksin konvensional bisa mengatasi Covid-19. Pasalnya, virus mengalami kecenderung bermutasi selama beberapa tahun.

Kondisi seperti itu pun terjadi saat ini. Dimulai dari Varian Alpha kini telah bermunculan varian terbaru, yakni Delta, Lamda dan Mu.

"Saya prinsipnya, saya itu tidak pas melihat penanganan vaksin pada Covid-19 karena virusnya memang sulit didekati dengan vaksin," ujarnya pada sebuah acara diskusi virtual, Senin, 27 September 2021.

"Karena itu saya tidak yakin vaksin konvensional itu bisa mengatasi Covid," sambungnya.

Kemudian, Profesor Nidom pun mendapatkan kabar dari grup dr Terawan mengenai Vaksin Nusantara. Tak langsung percaya dengan pernyataannya pada Uji Klinis fase I, ia pun langsung melakukan kajian-kajian.

"Saya melihat saya kaji mungkin ini adalah salah satu jawaban yang bisa digunakan untuk menjawab Covid bukan dari aspek antibodinya tetapi dari aspek kecepatan untuk mengganti sit vaksin," ujarnya.

Tak hanya itu, ia pun melakukan diskusi dengan tim dari Amerika Serikat soal kecepatan mengganti antigennya yang hanya membutuhkan waktu 30-40 hari.

"Jadi kalau ada varian baru yang muncul di suatu negara atau daerah maka kita menyiapkan Vaksin Nusantara ini menunggu cuma waktu 60 hari lah. Itu sudah selesai menjadi vaksin yang baru," jelasnya.

Dengan begitu, lanjut dia, jika ada varian baru maka bisa bisa langsung dikendalikan.

Ia pun mengungkapkan pernyataan otoritas kesehatan di Negara Thailand yang mengungkapkan Vaksin Sinovac tak mampu mengatasi varian Delta.

"Itu di Thailand ya. Kalau di Indonesia, mungkin banyak pernyataan-pernyataan, tapi penelitiannya sedikit," ujarnya.

Soal Vaksin Merah Putih, Profesor Nidom menyebutkan vaksin tersebut merupakan copy-paste dari vaksin yang sudah ada saat ini. Sehingga bakal kesulitan jika menghadapi kemunculan varian baru.

Baca Juga: Gatot Nurmantyo Sebut TNI Telah Disusupi PKI, Kostrad Tak Punya Ide Bongkar Patung Soeharto dan Sarwo Edhi

Mantan Menteri Kesehatan era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Siti Fadilah Supari dengan tegas pernah membantah anggapan Vaksin Nusantara tidak berbasis sains.

Perbedaan pendapat antara Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan peneliti Vaksin Nusantara terletak dari prosedur pengujian. BPOM meminta agar penelitian dilakukan terlebih dahulu pada hewan.

Padahal Vaksin Nusantara sifatnya berbeda dengan vaksin konvesional karena menggunakan sel dendritik manusia. "BPOM bicara Sop Buntut, Vaksin Nusantara bicara rendang. Ya enggak nyambung," celotehnya.

Profesor Nidom pun membeberkan keuntungan besar yang kini diraih sejumlah produsen besar vaksin besar dunia .

"Pabrik-pabrik vaksin besar dunia, mendapatkan kabar gembira karena kapitalisasi pasarnya mengalami peningkatan signifikan," ujar Ketua Tim Riset Corona dan Formulasi Vaksin dari Proffesor Nidom Foundation (PNF) ini.

Ia pun mengungkapkan kapitalisasi pasar dan pendapatan sejumlah produsen. Produsen vaksin dunia kini tengah sumringah.

Disebutkan, Pfizer mendapatkan kapitalisasi pasar $206,383 miliar dan pendapatan $52,750 miliar.

Di China, kapitalisasi pasar $37,52 miliar dan pendapatan $1,657 miliar. Moderna
kapitalisasi $22,616 miliar dan pendapatan $94,47 miliar.

Sanofi yang memproduksi DNA SARS-COV2 kapitalisasi pasar $121,45 miliar dan pendapatan $43,70 miliar. Astra Zeneca produsen vaksin Covid kapitalisasi pasar $133,055 miliar
dan pendapatan $23,565 miliar.

"Sayangnya di Indonesia tidak mendapatkan porsi ini karena memang tidak mempunyai pabrik vaksin sehingga tak bisa menikmati peningkatan pasar ini," katanya.

"Kalau saja Rujak ulek Jawa Timur bisa digunakan untuk mengobati Covid, dilobikan kesedunia, mungkin peningkatan kapitalisasi pasar bisa dinikmati, Itu tantangannya," katanya.

Profesor Nidom pun menyayangkan sejumlah kolega menyatakan Vaksin Nusantara bukanlah vaksin melainkan imunoterapi.

"Saya ingin meluruskan saja, bahwa sebuah definisi atau terminologi suatu vaksin adalah suatu material biologi yang diberikan kkepada tubuh kemudian bisa secara aktif menimbulkan daya tahan tubuh dari suatu infeksi," kata Guru Besar Ilmu Biokimia dan Biologi Molekular Unair ini.

"Jadi ada pemberian bahan biologi ke tubuh yang bisa menimbulkan imunitas," jelasnya.

"Di dalam tubuh itu ada mesin yang bisa menimbulkan imunitas karena terpicu oleh adanya bahan bilogi. Itu terminoligi vaksin selama ini," ungkapnya.

Baca Juga: Gatot Nurmantyo Ungkap PKI Sudah Susupi TNI, Pengamat Politik Malah Sebut Tak Mau Kalah Sama Vina Panduwinata

Sedangkan untuk Imunoterapi, ia menyebutkan, adalah pengobatan suatu penyakit melalui aktivasi atau penekanan suatu sistem imun.

"Contoh plasma konsvalesen. Ini tidak menggunakan mesin di dalam tubuh orang yang sakit tetapi langsung hasil produk dari orang yang pernah terinfeksi diberikan kepada orang yang sakit. Itu adalah imuno terapi," katanya lagi.

Sedangkan Vaksin Sel Dendritik yakni vaksin dengan ccara menumbuhkan sel dendritik di luar tubuh (lab) dan dibuat menjadi sel memoril dan setelah disuntikan akan menstimulasi sistem imun.

"Jadi mesin di dalam tubuh dikeluarkan kemudian diaktivasi dengan antigen. Setelah itu dimasukan ke dalam tubuh itu sendiri," katanya lagi.

Ia pun menganalogikan sebuah mobil. Vaksin itu ibarat memperbaiki mobil tanpa menurunkan mesin. Sedangkan Vaksin Sel dendtritik terlebih dulu menurunkan mesin saat memperbaikinya.

"Jadi tidak perlulah memberikan statement bawah vaksin nusantara itu adalah bukan vaksin. tetap vaksin karena dia ada mengeluarkan material biologi," tegasnya.

Seperti diketahui, sejumlah tenaga kesehatan khususnya dokter menduga bahwa Vaksin Nusantara merupakan imunoterapi bukan vaksin.

"Jadi cuma prosesnya ditaruh di luar tubuh. Karena tipe-tipe vaksin itu banyak sekali. Literatur di luar pun selalu mengatakan sel dendritik pun adalah vaksin," katanya.

Dengan begitu, lanjutnya, masyarakat juga supaya bisa memahami bahwa Vaksin Nusantara itu juga adalah vaksin.***

Editor: Dicky Aditya

Tags

Terkini

Terpopuler