Sri Mulyani Sebut Utang Indonesia Tinggi Karena Warisan Masa Lalu, Mantan Pejabat Negara Beberkan Data

27 Oktober 2021, 18:14 WIB
Menteri Keuangan Republik Indonesia, Sri Mulyani Indrawati. /Facebook Sri Mulyani Indrawati/

 

GALAMEDIA - Menteri Keuangan (Menkeu) RI Sri Mulyani Indrawati menyatakan utang Indonesia tinggi karena warisan masa lalu.

Sri Mulyani menyatakan, utang Indonesia sudah parah sejak puluhan tahun lalu, dan memburuk saat krisis moneter tahun 1997-1998.

Pernyataan Sri Mulyani tersebut langsung dikritik mantan Sekretaris Kementerian BUMN, Muhammad Said Didu.

Melalui akun Twitter @msaid_didu, aktivis ini mengungkapkan data mulai membengkaknya utang Indonesia.

"Warisan masa lalu ? Mari bicara data," cuit mantan pejabat negara ini, Rabu, 27 Oktober 2021.

Baca Juga: Boyong Nia Daniaty ke Partainya, Farhat Abbas: Secara Rumah Tangga Tidak Bersama Secara Politik Kami Bersatu

Ia mengungkapkan utang Indonesia pada tahun 2014 masih mencapai sekitar Rp2.600 trilyun.

Sedangkan saat ini di tahun 2021, utang Indonesia sudah mencapai Rp6.700 trilyun.

"Dan yang menambah utang dari periode 2004 - 2014 dari sekitar Rp1.400 triliun menjadi sekitar Rp2.600 triliun setahu saya Menkeunya sama dengan yang menambah dari periode 2014 - 2021 menjadi sekitar Rp6.700 triliun. Semoga jelas," tandasnya.

Sebelumnya Sri Mulyani mengatakan, lonjakan utang Indonesia tidak terjadi begitu saja.

“Waktu ada krisis 1997-1998 dengan adanya bail out, makanya utang kita (negara) sangat tinggi karena obligasi. Jadi ujung-ujungnya adalah beban negara,” ujarnya.

Dijelaskan, saat itu banyak perusahaan dan perbankan yang meminjam dolar Amerika Serikat (AS), termasuk obligasi pemerintah.

Baca Juga: Ungkap Acara Sepeda Santai Pimpinan KPK, Novel Baswedan: Etis Gak di Tengah Pandemi Mengadakan Acara Begini?

Hal itu menjadi beban untuk Indonesia, sebab nilai tukar rupiah terus terkoreksi, mulai dari Rp2.500 per dolar AS sampai dengan sekitar Rp17.000 per dolar AS.

Selain lonjakan utang, kala itu pemerintah juga berusaha memberikan stimulus pada perusahaan agar tidak semakin banyak yang buntung dan menjaga keberlangsungan ekonomi.***

Editor: Dicky Aditya

Tags

Terkini

Terpopuler