Anies Baswedan Terancam Dipenjara, Refly Harun Sebut Presiden Pun Bisa Dipidana Jika Seperti Ini

18 November 2020, 19:30 WIB
Ahli Hukum Tata Negara, Refly Harun. /Tangkapan layar YouTube Refly Harun./

GALAMEDIA - Sorotan terhadap Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan terus bergulir. Terlebih setelah Anies diperiksa Polda Metro Jaya pada Selasa, 17 November 2020, terkait kerumunan massa di acara Habib Rizieq Shihab.

Bersamaan dengan pemeriksaan, Kadiv Humas Polri, Irjen Pol. Argo Yuwono telah menyebut beberapa pihak termasuk Anies Baswedan dapat terancam satu tahun penjara atau denda sebesar Rp 100 juta.

Menurut Polri, itu bisa terjadi karena Anies Baswedan diduga melanggar protokol kesehatan pada acara yang digelar Habib Rizieq Shihab.

Baca Juga: Sampaikan Jawaban Pandangan Umum Fraksi, Ridwan Kamil Paparkan Belanja untuk Penanganan Covid-19

Anies Baswedan bersama dengan beberapa pihak lainnya bisa dijerat dengan Pasal 93 Undang-undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.

"Dugaan tindak pidana Pasal 93 UU Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan," kata Argo Yuwono.

Ahli Hukum Tata Negara, Refly Harun ikut berkomentar. Ia pun menyebut jika aturan yang diterapkan kepada Anies Baswedan, seorang presiden pun bisa terkena tindak pidana usai Gubernur DKI Jakarta saat ini terancam hukuman satu tahun penjara.

Baca Juga: Diperiksa Polisi Soal Habib Rizieq, Lurah Petamburan Positif Covid-19

Berikut bunyi Pasal 93: "Setiap orang yang tidak mematuhi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dan/atau menghalang-halangi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan sehingga menyebabkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)".

Refly Harun menilai seharusnya penegakan hukumnya cukup dilakukan dengan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) dan tidak ada sanksi pidananya.

"Karena ini aturannya hanya Pergub, tentu harusnya tidak ada sanksi pidananya dan untuk itu sesungguhnya sudah diberikan sanksi administratif Rp 50 juta, bahkan Menko Polhukam Mahfud MD mengatakan bahwa ini adalah kewenangan Gubernur DKI," terangnya.

Baca Juga: Sebut Kalang Kabut, Rocky Gerung: Pendukung Istana Hanya Buzzer Influencer dan Komisaris Relawan

"Rupanya penegak hukum memiliki logika lain, ini adalah kewenangan mereka dalam ranah pidana karena ada dugaan tindak pidananya," lanjut Refly.

Jadi ternyata menurut Refly Harun, ada dua aspek, yaitu aspek pidana penjara satu tahun dan aspek administrasinya denda Rp 100 juta.

Namun, Refly Harun mengungkapkan jika pasal ini dibaca secara teliti, maka terdapat sebab akibat yang akan berpengaruh pada interpretasi selanjutnya.

"Sebabnya adalah menghalang-halangi atau tidak mematuhi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan sehingga menyebabkan kedaruratan kesehatan masyarakat. Jangan lupa ada sebab dan akibatnya," tuturnya.

Baca Juga: Kapusjaspermildas TNI : Kerjasama TNI dan PSSI untuk Cetak Wasit Nasional

Padahal menurut Refly, kedaruratan kesehatan masyarakat adalah sesuatu yang sudah dinyatakan sejak awal pandemi berlangsung.

"Jadi pasal ini bisa debatable (diperdebatkan) karena kejadian tersebut harus dibuktikan memunculkan kedaruratan kesehatan masyarakat," tuturnya.

"Padahal kedaruratan kesehatan masyarakat tersebut sudah dinyatakan, jadi pemerintah yang menyatakan kedaruratan kesehatan masyarakat, bukan karena kejadian di pernikahan putri HRS," sambung Refly.

Refly Harun mengatakan, karena di pasal tersebut dikatakan "tidak mematuhi atau menghalang-halangi", mungkin porsi Anies adalah tidak mematuhi.

"Tapi kok Anies Baswedan yang mematuhi, bukankah yang tidak mematuhi adalah HRS, kalau untuk Anies Baswedan, bukan tidak mematuhi kalau mau disalahkan, tapi tidak menjalankan kewenangannya," ucapnya.

Baca Juga: Jangan Lewatkan! Mata Najwa Malam Ini Angkat Tema Pilah-pilih Urus Pandemi

Jika mau dianggap tidak menjalankan kewenangannya, Refly menilai perspektifnya bukan pidana tapi diganti menjadi politik dan administratif negara.

"Perspektif politiknya tentu DPRD DKI bisa menggunakan hak-haknya, entah itu hak bertanya, interpelasi, angket, dan proses pemberhentian tentu selain di DPRD DKI juga harus ke MA," ucapnya

Refly menyarankan, seharusnya pelanggaran-pelanggaran berat seperti tindak pidana saja yang bisa menyebabkan pemenjaraan seorang kepala daerah, bahkan kepala negara yang dipilih secara demokratis saja bisa dijatuhkan.

"Sementara dari sisi administratif adalah, bisa jadi Gubernur Anies Baswedan dimintai klarifikasi oleh pemerintah nasional, sanksi ya misalnya katakanlah mengurangi dana alokasi umum tidak menyalurkan dana tertentu dan sanksi-sanksi administratif lainnya," tuturnya.

Baca Juga: Letusan Gunung Merapi Semakin Dekat, Makhluk Ini Jadi Pertanda Bencana Terjadi

Menurut Refly, terlalu berlebihan jika menyasar Anies dengan sebuah tuduhan melakukan tindak pidana, karena ini adalah soal amanat bagaimana dia menjalankan pemerintahan di DKI Jakarta.

"Kalau setiap pelanggaran pidana itu dibebankan kepada penyelenggara negara karena ada warga negara yang melanggar tindak pidana, maka sesungguhnya nanti bisa-bisa presiden pun bisa kena tindak pidana," ucapnya.

"Katakanlah misalnya presiden melemahkan KPK, kan bisa diinterpretasikan sebagai menghalang-halangi pemberantasan tindak pidana korupsi misalnya atau menyalahgunakan kewenangan misalnya, kan tidak begitu perspektifnya," sambung Refly.

Sekali lagi, Refly menegaskan ini bukan untuk menghalang-halangi atau tidak mematuhi protokol kesehatan tapi ini berkaitan dengan menjalankan tugas-tugas apa saja yang dibebankan kepada pemerintah lokal.

Baca Juga: Letusan Gunung Merapi Semakin Dekat, Makhluk Ini Jadi Pertanda Bencana Terjadi

Seperti ditulis bekasi.pikiran-rakyat.com dalam artikel berjudul "Anies Terancam Dipenjara, Refly Harun: Kalau Aturannya Begini, Presiden Bisa Kena Pidana Juga".

"Jangan sampai kepala daerah yang dipilih secara demokratis itu justru bisa dijatuhkan oleh mekanisme-mekanisme yang justru di luar demokrasi itu sendiri," ucapnya.

"Penilaian diserahkan kepada pemerintah pusat untuk sanksi administratif, diserahkan kepada DPRD DKI untuk sisi politik lokal, dan diserahkan kepada masyarakat dari sisi perspektif sosial." sambung Refly.

Refly menilai penting baginya untuk memberikan perspektif hukum tata negara dan administrasi negaranya agar tidak mudah begitu saja bagi seorang kepala daerah dipidanakan untuk hal-hal yang justru tidak ia lakukan. (Penulis: Ghiffary Zaka)***

Editor: Lucky M. Lukman

Tags

Terkini

Terpopuler