Wanti-wanti Potensi Gempa Berkekuatan 8,9, Pakar Gempa Ungkap 4 Syarat Terjadi Tsunami

- 16 Juni 2021, 16:20 WIB
Ilustrasi terjadinya tsunami.
Ilustrasi terjadinya tsunami. /Pixabay/Stefan Keller


GALAMEDIA - Pakar gempa Universitas Andalas (Unand), Dr Badrul Mustafa mengungkap ada empat syarat yang harus dipenuhi saat suatu gempa bisa menimbulkan dampak tsunami setelah kejadian.

"Empat kondisi ini harus terjadi sekaligus, kalau satu saja yang ada, dipastikan tidak akan terjadi tsunami dan yang pertama adalah pusat gempa harus berada di dasar laut," kata Badrul Mustafa dalam pemaparan di Media Center Dinas Kominfo Padang di Padang, Rabu, 16 Juni 2021.

Menurut dia, jika gempa tersebut pusatnya di darat, maka dipastikan tidak akan terjadi tsunami setelah guncangan usai.

Selanjutnya, kekuatan yang menimbulkan gempa minimal tujuh ke atas atau gempa besar dan di bawah itu peluangnya kecil.

"Pada umumnya gempa yang diikuti tsunami terjadi tujuh ke atas dan kedalaman pusat gempa di bawah 30 kilometer dari permukaan atau sangat dangkal," paparnya.

Baca Juga: Simak Makna Bunga Edelweis yang Viral Usai Dipetik oleh Atta Halilintar untuk Aurel Hermansyah

Ia menjelaskan ada tiga penggolongan kedalaman gempa, yaitu gempa dangkal terjadi pada kedalaman sampai 60 kilometer, 60 sampai 300 kilometer gempa sedang dan lebih dari 300 kilometer adalah gempa dalam.

Semakin dangkal pusat gempa, intensitas dan dampak akan lebih besar. "Syarat terakhir terjadi tsunami usai gempa adalah terjadinya megathrurst," ujarnya.

Ia menjelaskan pada segmen Sipora-Pagai pada 12 September 2007 terjadi gempa dengan kekuatan 8,4 magnitudo dan 13 September 2007 dengan magnitudo 7,9 dan pada hari yang sama kembali terjadi dengan skala 7,2.

Tiga gempa tersebut, semuanya berskala besar dan dangkal, namun tidak diikuti tsunami karena tidak terjadi di megathrust.

Badrul menjelaskan megathrust adalah sesar naik yang saat terjadi tumbukan lempeng terjadi dislokasi bebatuan secara vertikal, sehingga air laut akan terguncang.

Ia pun kembali mengingatkan warga Sumbar soal potensi gempa dari zona megathrust segmen Siberut yang masih belum mengeluarkan energi untuk dilepaskan.

"Pada 1797 pernah terjadi gempa besar 8,9 dari segmen Siberut dan saat ini sudah memasuki periode ulang 200 tahun dengan potensi energi yang belum dilepaskan sebesar dua per tiga," katanya.

Baca Juga: bank bjb dukung Pelaksanaan Beauty Bazaar Bandung Beauty Station 2021

Ia menyampaikan hal itu pada pemaparan di Media Center Dinas Kominfo Padang bersama Kepala Dinas Kominfo Padang Rudy Rinaldy dan Kepala Pelaksana BPBD Padang Barlius.

Ia menjelaskan Pulau Sumatera dilalui tumbukan lempeng Indoaustralia dengan Eurasia, lalu lempeng Indoaustralia menujam ke bawah dan akibat dorongan tersebut terakumulasi energi.

"Di Kepulauan Mentawai ada dua segmen yaitu Sipora-Pagai dan segmen Siberut," kata dia.

Ia memaparkan dari hasil penelitian LIPI diketahui waktu periode ulang gempa besar dari kedua segmen tersebut yang diidentifikasi dari pola tumbuh dan matinya karang di sekitar pulau.

"Ketika gempa terjadi pulau yang sebelumnya turun akibat dorongan lempeng bisa naik kembali," ujarnya.

Untuk segmen Sipora-Pagai sudah terjadi pengulangan gempa sebanyak empat kali yaitu 12 September 2007 dengan kekuatan 8,4 pada13 September 2007 dengan skala 7,9 dan pada hari yang sama kembali terjadi dengan skala 7,2 dan 25 Oktober 2010 dengan kekuatan 7,2.

Baca Juga: Tokyo Revengers Episode 11 Lengkap Dengan Jadwal Tayang: Masalah Baru, Geng Valhalla Muncul  

Sedangkan di segmen Siberut sudah pernah terjadi beberapa kali gempa yang cukup kuat yaitu pada 10 April 2005 atau beberapa hari setelah gempa Nias dengan kekuatan 6,7.

Lalu 30 September 2009 juga terjadi gempa dengan kekuatan 7,9 yang merupakan bagian dari segmen Siberut.

"Akan tetapi ini baru sepertiga energi yang dilepaskan dari segmen Siberut dan masih ada energi dua per tiga lagi sebagaimana pendapat ahli ITB Irwan Meilano," kata dia.

Oleh sebab itu yang perlu dilakukan adalah meningkatkan kewaspadaan melalui mitigasi gempa dengan mempersiapkan diri sehingga seandainya terjadi jumlah korban dan kerusakan bangunan dapat diminimalkan.

"Kita tidak pernah tahu kapan akan terjadi bisa jadi malam ini, besok, dua hari lagi, minggu depan, bulan depan atau tahun depan dalam rentang 50 tahun ke depan," katanya.

Menurut dia dari hitungan pengulangan periode gempa 200 tahun di 1797 maka akan kembali terjadi pada 1997 dan berpeluang hingga 50 tahun ke depan.

Karena tidak tahu kapan datangnya yang bisa dilakukan adalah mempersiapkan diri dengan mitigasi yaitu pra bencana, saat bencana atau tanggap darurat dan pascabencana.

Baca Juga: Ekspor 23 Ton Produk Kelapa Parut Kering ke Kosta Rika, Emil Dorong Duta Besar Turut Pasarkan Produk Lokal

"Dari ketiga hal tersebut persiapan paling utama adalah mitigasi pra bencana karena ketika kita mempersiapkan diri sebaik-baiknya sebelum gempa terjadi maka korban bisa ditekan," ujarnya.

Ia mengemukakan yang perlu disiapkan yaitu mitigasi struktural menyangkut struktur bangunan karena yang paling banyak menimbulkan korban jiwa dan kerugian saat gempa adalah bangunan yang roboh.

"Perlu sekali mematuhi standar bangunan aman gempa yang sudah ditetapkan pemerintah agar risiko hancurnya bangunan yang dapat menimpa manusia bisa ditekan," kata dia.

Termasuk dalam hal ini menyiapkan jalur evakuasi sementara seandainya ada tsunami setelah gempa.

Lalu yang kedua perlu dilakukan mitigasi nonstruktural yaitu sosialisasi terus menerus kepada masyarakat dan simulasi gempa tanpa merasa bosan.

Selanjutnya para anggota keluarga membuat kesepakatan jika terjadi gempa apa yang harus dilakukan dan titik berkumpul di mana.***

Editor: Dicky Aditya


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x