GALAJABAR - Berdasarkan kasus yang ditangani Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), kasus pemerkosaan menempati urutan kedua terbanyak dalam ragam kekerasan seksual pada 2021.
“Kasus pemerkosaan ada 66 kasus, itu banyak sekali sebetulnya. Nomor dua terbanyak setelah pelecehan seksual,” kata aktivis hak asasi manusia (HAM) Asfinawatiketika menyampaikan paparan dalam webinar bertema Indonesia Darurat Kekerasan Seksual yang disiarkan di platform Zoom Meeting dan dipantau dari Jakarta, Kamis 6 Januari 2022.
Akan tetapi, kata dia, meskipun kasus tersebut memiliki jumlah yang signifikan, DPR justru menghapus pasal mengenai pemerkosaan pada Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
Baca Juga: DPC PDIP Garut Siap Distribusikan Ribuan Paket Beras Bantuan Puan Maharani untuk Warga Garut
Adapun alasan dari penghapusan pasal mengenai pemerkosaan, kata Asfinawati melanjutkan, adalah karena kasus pemerkosaan akan dibahas oleh pembentuk undang-undang saat menyusun Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).
“Padahal, di dalam undang-undang lain ada undang-undang induk, tetapi juga ada undang-undang khususnya yang tetap bisa direvisi,” ujar mantan Direktur YLBHI periode 2017-2021 ini pula.
Selain bentuk kekerasan seksual berupa pemerkosaan, Asfinawati juga menjelaskan terdapat empat bentuk lainnya yang tidak dicantumkan dalam RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
Bentuk-bentuk tersebut meliputi pemaksaan aborsi, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, serta perbudakan seksual.
Para penyusun rancangan undang-undang juga tidak mencantumkan kekerasan berbasis gender online (KBGO) sebagai bentuk kekerasan seksual yang diatur di dalam RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Berdasarkan jumlah kasus yang ditangani oleh YLBHI, KBGO menempati posisi keempat terbanyak, yakni 52 kasus pada 2021.