Mengurai Pemikiran Wamenkumham Tentang Penegakan Hukum di Masa Pandemi

- 2 Maret 2022, 22:53 WIB
Kepala Subsi Bimbingan Kemasyarakatan dan Perawatan Lapas Kelas IIA Sidoarjo, Kanwil Kemenkumham Jatim, Andi E. Sutrisno.
Kepala Subsi Bimbingan Kemasyarakatan dan Perawatan Lapas Kelas IIA Sidoarjo, Kanwil Kemenkumham Jatim, Andi E. Sutrisno. /

"Saat itu revolusi mental diartikan sebagai gerakan hidup baru untuk menggembleng manusia Indonesia menjadi manusia baru yang berhati putih, berkemauan baja, bersemangat elang rajawali, dan berjiwa api. 57 tahun telah berlalu saat itu, Indonesia diingatkan kembali tentang pentingnya konsep revolusi mental untuk diterapkan secara gamblang dan tegas. Revolusi Mental pada 2014 adalah gerakan nasional yang menekankan pada tiga nilai utama; yaitu integritas, etos kerja, dan gotong royong. Harapannya, revolusi mental ini dihadirkan guna menyambut derasnya efek disrupsi," jelas mantan Sekretaris Pimpinan Setjen Kemenkumham itu.

Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Administrasi di Universitas Brawijaya ini menyatakan bahwa, berbicara revolusi mental tentu beririsan dengan strategi mindset shifting. Strategi ini menjadi alternatif pamungkas yang harus ditempuh saat ini, sebagai refleksi dari revolusi mental dalam menghadapi pandemi Covid-19 dan menjawab tantangan disrupsi pada sektor penegakan hukum.

"Jika mengutip pemikiran Pak Wamenkumham, bahwa strategi ini terklasifikasi menjadi 4 dimensi yang meliputi model bisnis, proses bisnis, product offering, dan delivery. Ini memaksa dan mengunci pola berfikir masyarakat melalui mindset shifting untuk menjadi strategi pertama dalam berjalannya penegakan hukum ditengah disrupsi ini," ujar mantan Penelaah Status WBP Lapas IIA Jember itu.

Selanjutnya, potret penegakan hukum di masa pandemi saat ini mengalami perubahan yang didasarkan pada pengutamaan prinsip protokol kesehatan. Kesepakatan antara pimpinan masing-masing instansi yang terasosiasi dalam penegakan hukum, menghendaki segala proses penegakan hukum mulai dari penangkapan sampai pelaksanaan pidana dilaksanakan dengan pengutamaan prinsip protokol kesehatan. Tanpa disadari, perubahan penegakan hukum di masa pandemi ini mengajak kita untuk berfikir lebih progresif dan konstitutif.

"Terdapat fenomena paradigma baru peradilan pidana. Fenomena ini dimulai dari perubahan paradigma hukum klasik ke arah paradigma modern. Proses ajudikasi pada paradigma klasik kerap kali menjatuhkan pidana penjara sebagai bentuk penderitaan yang dinilai paling ‘ideal’. Proses tersebut mengurai suatu peristiwa yang menunjukkan masih eksisnya paradigma retributif," terang Andi.

Baca Juga: M-Banking BCA Error Hari Ini, Pihak BCA Langsung Buka Suara

Alumni AKIP Angkatan XLVIII ini juga menambahkan bahwa, paradigma selanjutnya ditandai dengan ekspansi konsep pembinaan narapidana. Pada tataran praksis Pemasyarakatan, kebijakan asimilasi sebagaimana diatur dalam Permenkumham Nomor 43 Tahun 2021 (telah mengalami tiga kali perpanjangan) pada prinsipnya merupakan terjemahan dari konsep community based corrections.

Awalnya, asimilasi mendapatkan pertentangan yang luar biasa dari kalangan masyarakat atas asumsi dasar pemikiran punitif dan retributif. Data statistik menunjukkan total jumlah asimilasi sejumlah 126.025 narapidana dengan jumlah residivis sekitar 565 klien. Data ini menunjukkan hanya sekitar 0,44 persen saja.

Dalam sudut pandang perawatan narapidana, jumlah makan narapidana secara akumulatif berkisar sekitar Rp 25.000 per narapidana/hari. Maka terjadi penghematan anggaran Rp 189.037.500.000 (dengan estimasi sisa pidana penjara 2 bulan). Data ini mendeskripsikan bahwa pembinaan berbasis masyarakat berjalan dengan efektif serta dapat dilakukan refocusing anggaran yang lebih prioritas.

"Gambaran eksplisit pembaharuan paradigma penghukuman diatas seyogyanya dapat menggugah pemikiran klasik untuk merekonstruksi mindset shifting terhadap pembaharuan hukum. Saat ini upaya pembaharuan hukum telah dilakukan pada tataran politis. Melihat substansi RPJPN (2005-2025) yang menginstruksikan Pembangunan materi hukum diarahkan untuk melanjutkan pembaruan produk hukum dalam rangka menggantikan peraturan perundang-undangan warisan kolonial agar dapat mencerminkan nilai-nilai sosial dan kepentingan masyarakat Indonesia. Presensi RKUHP sebagai wujud pembaharuan hukum sudah digariskan dalam politik pembangunan hukum Indonesia sejak GBHN I hingga RPJPN," ungkapnya.

Halaman:

Editor: Dicky Aditya


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah