Di Indonesia, UU No. 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang telah memperkuat peran Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) sebagai lembaga penegak hukum pencucian uang. Di bawah undang-undang ini, peran (PPATK) telah diubah dari pasif menjadi aktif dan PPATK telah diberdayakan untuk secara independen menganalisis potensi pencucian uang dan berbagi hasil analisisnya dengan lembaga penegak hukum lainnya.
PPATK juga memiliki hak untuk menanyakan kepada penegak hukum lain mengenai penggunaan informasi yang diserahkan atau dikirimkan kepada PPATK. Hal ini tercermin dari semakin meningkatnya kesadaran para penegak UU TPPU, seperti penyedia jasa keuangan dalam memenuhi kewajiban pelaporan, otoritas pengawas dan pengatur dalam penyusunan regulasi.
Para pelaku kejahatan pada umumnya berusaha menyembunyikan atau menyamarkan asal usul hasil kejahatan dengan berbagai cara untuk mempersulit aparat penegak hukum dalam melacak hasil kejahatan dan menggunakannya secara bebas untuk kegiatan yang legal maupun ilegal.
Oleh karena itu, tindak pidana pencucian uang dan korupsi tidak hanya mengancam stabilitas dan integritas sistem perekonomian dan sistem keuangan, tetapi juga dapat mengancam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 serta Negara Kesatuan Republik Indonesia ***