GALAMEDIA - Seiring dengan pandemi Covid-19, pemerintah menggulirkan sejumlah program bantuan bantuan sosial bagi masyarakat. Dana yang digelontorkan pun tak main-main.
Pengelolaan dilakukan mulai dari aparat pemerintahan paling bawah hingga tertinggi. Di level bawah, kepala desa bisanya yang bertanggungjawab. Namun tak jarang, dalam pengelolaannya memunculkan masalah baru.
Kepala desa karena jabatan dan kewenangannya, menyalurkan dana bantuan sosial pada warganya yang terdampak Covid-19 sesuai dengan data resmi. Namun kenyataan berbicara lain. Masih banyak warga yang tak tercantum di data resmi, padahal sangat membutuhkan.
Baca Juga: Kim Jong-Un Perintahkan Lockdown, Covid-19 Masuk Korea Utara Dibawa oleh Seorang Pembelot
Di sejumlah daerah, kepala desa akhirnya berinisiatif memotong anggaran bantuan sosial untuk warga penerima. Sebagian uang yang dipotong itu disalurkan pada warga yang tidak tercatat sebagai penerima bantuan.
Dalam kontruksi hukum pidana korupsi, perbuatan kepala desa itu memenuhi unsur melawan hukum. Ia menyalahgunakan jabatan dan kewenangannya, memperkaya diri orang lain yang tidak berhak bahkan merugikan negara.
Namun, apakah kepala desa itu harus dituntut secara pidana? Pasalnya, unsur utama dalam hukum pidana itu adalah mens rea atau dikenal niat jahat.
Baca Juga: Dibatasi Hanya 1.000 Orang, Jemaah Haji Sudah Tiba di Bandara King Abdulaziz
Masalah tersebut menjadi salah satu bahasan yang diperdebatkan dalam webinar yang digelar Ikatan Alumni Fakultas Hukum Unpad bekerja sama dengan Persatuan Advokat Indonesia (Peradi) Jakarta Pusat, Sabtu, 25 Juli 2020.