Ia mengambil contoh pengaduan yang saat ini sedang ditangani dan kebetulan berada di Jawa Barat. Dewa menyebut ada dua perkara pelanggaran kode etik di Majalengka yang sedang disidangkan oleh DKPP.
"Ada dua perkara menyangkut KPU Majalengka. Ini terkait dugaan pelanggatan rekrutmen badan penyelanggara ad-hoc atau PPS. Sidangnya masih berjalan," jelasnya.
Soal sanksi yang dijatuhkan jika aduan itu terbukti, Dewa menyampaikan, DKPP memiliki mekanisme yang sudah diatur undang-undang. Jenis sanksi yang diberikan mulai dari peringatan, peringatan keras dan peringatan keras terakhir.
Kemudian, lanjut Dewa, ada juga sanksi diberhentikan sementara dan sanksi diberhentikan dari jabatannya. "Misalkan diberhentikan dari jabatan ketua tapi tetap jadi anggota," ujarnya.
Terakhir, sanksi terberat yang dijatuhkan oleh DKPP kepada penyelenggara pemilu yang terbukti melakukan pelanggaran kode etik adalah diberhentikan tetap atau diberhentikan sebagai anggota. "Kalau ini yang bersangkutan tidak lagi sebagai penyelenggara, artinya total diberhentikan," tegasnya.
Dari 302 aduan yang masuk sejak Juni 2022 hingga 8 Mei 2023, Dewa menyebut ada beberapa putusan DKPP yang menjatuhkan sanksi terberat kepada pelanggar kode etik. Disampaikan Dewa, putusan itu diambil melalui kajian dan pertimbangan mendalam.
"Ya, ada, ada beberapa penyelenggara di kabupaten yang diberhentikan (sebagai anggota) melalui kajian dan pertimbangan mendalam. Tapi ada juga yang diberhentikan sebagai ketua dan peringatan," tandasnya.
Kordinasi internal
Meminimalisir terjadinya pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu, Dewa menyatakan DKPP terus melakukan langkah-langkah. DKPP akan memastikan tahapan pemilu berjalan sesuai ketentuan dan mendorong komunikasi serta kordinasi di internal lembaga penyelenggara pemilu, baik KPU, Bawaslu dan DKPP itu sendiri.