Perubahan Sosial Pasca Kudeta 15 Juli di Turki

- 10 April 2022, 12:00 WIB
Foto penulis, Wawan./dok.IST
Foto penulis, Wawan./dok.IST /

Yang terkenal pada 27 peristiwa Februari 1997 dikenal 'kudeta postmodern' intervensi militer terhadap pemerintahan sipil. Militer memilih media dan NGO sebagai partner untuk mengambil kekuasaan tanpa harus menggunakan kekerasan. Saat itu media semisal Hurriyet, mengkampanyekan opini publik yang anti terhadap kebijakan pemerintah terpilih, memfabrikasi narasi dan menggunakan gambar-gambar provokatif.

Partai AKP yang menjadi pemenang Pemilu 2002 melihat fenomena kudeta sebagai suatu kemungkinan yang bisa terjadi pada mereka kapan saja. Oleh karena pengalaman tersebut pemimpin partai AKP berusaha untuk merestrukturisasi pola hubungan sipil militer.

Meskipun partai AKP mengubah struktur kelembagaan untuk campur tangan militer dalam politik, sulit bagi pemerintah untuk mengubah modus operandi media dalam melegitimasi suatu kudeta. Sejatinya hubungan antara media dan petinggi militer belum berubah.

Meskipun begitu perlu diketahui bahwa para pendukung intervensi militer dalam politik sipil telah terpinggirkan sebut saja kelompok Kemalis dan Jurnalis, sekutu tradisional komplotan kudeta mulai menyampaikan narasi ketidaksahan suatu kudeta yang telah berulang kali terjadi dalam sejarah politik Turki.

Dalam diskusi nasional tentang hubungan sipil-militer pada tahun 2002 Partai AKP menegaskan bahwa tidak ada kudeta yang legal (legitimate), tidak ada pemerintahan dibawah militer, pemerintahan hanya akan naik dan turun lewat pemilihan umum.

Di tahun 2007, salah satu pencapaian dari pemerintah adalah menggunakan media yang sosial, yang mampu mengambil alih peran media utama dimana secara tradisional menjadi pendukung militer guna meraup pemilih secara langsung. Pada akhirnya iklim politik Turki berubah menjadi lebih liberal sejak tahun 1990, memunculkan wajah politisi sipil yang lebih menarik suara pemilih.

Setelah perubahan posisi pada hubungan sipil militer, media-media utama bereaksi atas percobaan kudeta pada 15 Juli 2016 dengan reaksi yang belum pernah terjadi sebelumnya yakni menentang (oposisi) terhadap penggunaan kekuatan militer.

Perubahan mind set media tidak hanya disebabkan oleh kebijakan demokratis Partai AKP terkait pola hubungan sipil militer namun juga paralel dengan perkembangan media yang juga mengalami perubahan cara pandang dan konsep pemberitaan yang memunculkan alternatif via media sosial.

Peran media sosial juga terlihat ketika terjadi fenomena Arab Spring. Beberapa penulis menyadari bahwa media sosial cenderung bertolak belakang dengan media konvensional yang lazim terfabrikasi sehingga muncul pergerakan revolusi politik di Aljazair, Mesir, Suriah dan Tunisia.

Di kemudian hari Gerakan revolusi ini dikenal dengan Revolusi Twitter, yang mengancam rezim otoriter. Platform media semisal Facebook, YouTube, dan Twitter menjadi saran penyebaran informasi secara tidak terkendali oleh rezim penguasa yang biasanya mengandalkan media-media utama.

Halaman:

Editor: Lucky M. Lukman


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x