Pameran Seni Lukis 'Enternal' Sebuah Peristiwa Kesejagadan Karya Tiga Pelukis Bandung

18 Desember 2020, 19:44 WIB
Andi Sopiandi, Supriatna & Tondi Hasibuan /Milik pribsdi

GALANEDIA - Eternal sebuah kata, yang berasal dari bahasa Inggris: eternal [i't3:nl] yang memiliki arti abadi, kekal; tak putus-putusnya, tak berkesudahan ( lihat Kamus Lengkap Inggris-Indonesia Indonesia-Inggris, oleh: E.Pino dan T. Wittermans. Cet. Kelima, Pen. Pradnya Paramita, Jakarta,1982). Frasa ini dipilih untuk menjadi sebuah tajuk pameran karena memiliki sifat dari seni itusendiri, yaitu bahwa seni itu abadi sedang hidup adalah singkat atau sesaat.

Pameran yang bertajuk Eternal ini dipresentasikan oleh tiga orang pelukis dari kota Bandung; Tondi Hasibuan, Supriatna dan Andi Sopiandi. Masing- masing pelukis memiliki latar belakang dan pengalaman hidup yang berbeda- beda. Dari perbedaan tersebut di atas menghasilkan juga karya-karya kreatif yang berbeda gaya ungkap visual dan filosofi kedalaman dari para pelukisnya.

Jam terbang mereka bertiga, telah malang melintang menggelar pameran karya-karya mereka baik di dalam maupun di luar negeri dalam event yang bergengsi.

Baca Juga: Seluruh Kasus Habib Rizieq Kini Ditangani Bareskrim Polri

Pameran Lukisan Eternal ini dipercayakan kepada dua orang untuk mengkurasi, saya pribadi; Aisul Yanto/Jakarta bersama Mr.Geronimo Cristobal/ New York untuk menghantarkan pameran tersebut kepada medan masyarakat seni rupa Indonesia pada khususnya, dan kepada masyarakat luas secara umum.

Pameran Lukisan ini akan digelar di gedung " Balai Budaya Jakarta" Jl. Gereja Theresia no.47 Menteng-Jakarta, dari tanggal 20-30 Desember 2020.

Sebuah gedung yang tidak saja memiliki sejarah panjang, tempat lahirnya berbagai pemikiran dan praktik kebudayaan di Indonesia. Tetapi ia telah berfungsi sebagai penanda kebudayaan dan rumah/ rorompok ( bahasa Sunda) bagi peradaban. Ketiga seniman dalam event ini akan mempresentasikan masing-masing 8-10 karya dalam ukuran yang cukup besar.

Baca Juga: Dharma Wanita Harus Berperan Aktif Bantu Penanganan Covid-19

Tondi Hasibuan karya-karyanya mengambil isian dari berbagai peristiwa stori dan histori baik yang ada di negeri ini maupun yang ada di berbagai negeri lain, ia mendapatkan pendidikan seni di Australia dan Inggris, latar belakang inilah salah satu yang mendorong bahasa rupa yang ia tampilkan dekat dengan pengaruh dari berbagai pencapaian yang ada di khasanah seni rupa modern di belahan dunia barat oleh para tokoh Cubism, tetapi karyanya tetap berasa sangat Asia, alias Nusantara.

Lihat salah satu karyanya yg mengambil tema tentang sejarah Raja Brawijaya beserta penasehatnya, sang Semar yang sebenarnya adalah pelukisan dari situasi dan kondisi yang ada. Warnanya berasa warna tropis dengan warna merah, kuning, jingga, coklat tanah menyimbolkan sebuah kehangatan, bahasa rupa yang ia tampilkan di dalam nafas kubis.

Penggambaran deformasi wajah, tubuh dan anggota tubuh di setiap lukisannya saling berkelindan mencipta ruang kedalaman. Tergambar penyederhanaan/stilisasi dari bentuk daun. Yang menjadi salah satu cirinya di dalam setiap karya yang dipamerkan.

Bagi seniman ini daun memiliki sebuah filosofi yang bermakna menghubungkan semua aspek kehidupan yaitu daun- daun kehidupan itu sendiri yang selalu memiliki keberadaanya sendiri.

Baca Juga: Kampanye ShopeePay Semua Rp1 Cetak Rekor Baru, 100.000 Voucher Terjual pada 12 Menit Pertama di 1212

Karya-karyanya merepresentasikan dirinya pribadi sebagai manusia timur dengan cakupan bahasa rupa barat yang tetap beraroma dan rasa eksotisme timur.

Supriatna pelukis yang mendapatkan pendidikan seninya dari seni rupa ITB- Bandung, sejak kecil telah tertarik dengan dunia seni rupa, awal karya-karyanya ketika masih menimba ilmu dan setelah kelulusan dari almamaternya berada di jalur abstrak, tetapi kemudian karena pengaruh lingkungan dimana ia berkarya baik sebagai seniman dan sebagai pendidik, ia malah tertarik kembali dengan bentuk, khususnya figur-figur penari/ perempuan, dengan komposisi yang berbagai macam sudut pandang.

Baca Juga: Ditengah Pandemi Covid-19, Disperkim Garut Berhasil Bangun 5.937 Rutilahu

Rasa artistiknya tak lepas dari rasa artistik almamaternya, artinya ada pengaruh dari para maestro dan profesor yang ada institusi dimana ia menimba
ilmu seni rupa. Ia telah menemukan jalurnya sendiri dalam berkesenian dan menemukan kepribadianya.

Bagi dirinya sosok perempuan adalah sesuatu yang tidak saja indah tetapi juga memiliki nilai yang sakral sebagai bentuk keterhubungan dengan keIlahian.

Andi Sopiandi pelukis yang belajar secara sendiri dan mandiri, belajar dari berbagai buku dan dengan cara melihat banyak pameran seni rupa, karena kegigihan dan kemauan kerasnya untuk belajar terus, menghantar dirinya ketika duduk di bangku SMA telah berani dan berhasil menggelar pameran tunggalnya yang pertama (di SMA Angkasa-Bandung).

Baca Juga: Institusi Polri Dilaporkan ke Mahkamah HAM Internasional, Aksi Bela HRS Digelar di Sejumlah Daerah

Dari peristiwa ini mendorong dirinya untuk menekuni seni lukis-rupa sebagai jalan hidupnya hingga hari ini. Tafril kanvasnya banyak merekam keindahan alam/ lanskap dengan rasa warna- warna yang segar, sebagai endapan alam bawah sadarnya yang menyimpan kenangan sebagai seorang pecinta alam.

Bahasa rupa pada karya-karyanya yang mengambil tema lanskap, dikerjakan dengan teknik yang sangat halus dengan dominasi warna-warna teduh hijau/ biru, sedikit transparan mengingatkan akan kerja pelukis Wahdi dengan lanskap-lanskapnya dengan teknis yang lebih transparan lagi.

Satu karyanya yang menggambarkan sebuah perahu yang bersandar (Nelayanku kemana? 2015) dan Situ Cangkuang III memiliki pencapaian pengolahan warna yang sangat matang, sangat colouris dan indah. Mengingatkan akan karya Abas Alibasyah pada periode atau seri Pemandangan di Senen dan seri Lotus.

Baca Juga: Tanggap Covid-19, Menteri Desa Berikan Penghargaan Kepada Kepala Desa Padamukti

Dalam proses perjalanan kreatifnya pelukis Andi Sopiandi telah menemukan jalan yang sesuai dengan dirinya, dan telah menemukan diri sendiri, itu termanifestasikan di dalam karya- karyanya yang sangat khas dirinya.

Karya-karya mereka bertiga dari Bandung ini, serasa menyambung kembali benang merah sejarah yang pernah terjalin antara Bandung dan Balai Budaya, 66 tahun yang lalu 11 pelukis muda/ mahasiswa dari kota Bandung al; Pelukis But Muchtar, Srihadi Sudarsono, Ach. Sadali, Sie Hauw Tjong, Soedjoko dll. menggelar pameran seni rupa/lukis di Balai Budaya, d/h Jl. Sunda no.47 Menteng, dari tanggal 20-27 Nopember 1954.

Baca Juga: Pelantikan JPTP Hasil Open Biding Tunggu Keputusan KASN

Dan para pelukis muda itu, saat ini telah menjadi para maestro seni rupa, guru besar, profesor seni rupa. Pameran para pelukis muda/ mahasiswa ini ditulis oleh pelukis Trisno Sumardjo di majalah mingguan Siasat, 5 Desember 1954, kemudian dibalas oleh tulisan Soedjoko menjadi sebuah polemik seni dan budaya, yang melahirkan istilah atau mazhab Bandung dan Yogya dalam bidang seni rupa yang monumental itu. Hari ini sejarah itu terhubung kembali dengan peristiwa pameran Eternal oleh tiga pelukis Bandung ini.

Peristiwa 1954 itu menelurkan sebuah perbedaan pemikiran dalam memandang persoalan seni rupa pada zamanya, sebagai sebuah dinamika perjalanan sejarah kebudayaan..

Baca Juga: Institusi Polri Dilaporkan ke Mahkamah HAM Internasional, Aksi Bela HRS Digelar di Sejumlah Daerah

Maka hari ini peristiwa pameran "Eternal" adalah sebuah peristiwa kesejagadan, karena sesuai dengan semangat zaman/zeitgeist yang telah masuk di dalam ceruk peradaban digital, sebuah peristiwa dapat tersiarkan dengan cepat tanpa batas ruang dan waktu.

Memberi tanda dan harapan lewat kekekalan sifat seni yang selalu memberikan daya hidup pada peradaban yang kini sedang didera pandemi hampir di seluruh bagian dunia.

 

Pameran ini dapat menjadi sebuah simbol sebagai peristiwa penutup tahun pandemi, menyongsong hari- hari zaman baru yang gemilang, dengan habitus baru sebagai sebuah keniscayaan. (Aisul Yanto) ***

 

Editor: Kiki Kurnia

Tags

Terkini

Terpopuler