Pakar ITB Ungkap Penyebab Longsor di Bandung Barat

28 Maret 2024, 06:15 WIB
Iman Achmad Sadisun memaparkan karakteristik longsoran /itb.ac.id/

GALAMEDIANEWS – Bencana longsor telah terjadi di Kecamatan Cipongkor, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat pada hari Senin, 28 Maret 2024.

Imam Achmad Sadisun selaku pakar longsoran (landslide) Institut Teknologi Bandung (ITB) menjelaskan faktor penyebab longsor di Kampung Gintung, Desa Cibenda, Kecamatan Cipongkor, Kabupaten Bandung Barat (KBB), Jawa Barat.

Beliau menjelaskan mengenai faktor penyebab longsor, yaitu adanya faktor prakondisi (preconditioning factor) dan faktor pemicu (triggering factor).

Faktor prakondisi umumnya berkaitan dengan berbagai kejadian yang sifatnya berlangsung relatif lambat atau jangka panjang, seperti pelapukan, erosi, perubahan topografi/kemiringan lereng, perubahan tata guna lahan, dan kondisi geologisnya, seperti terdapatnya batuan di wilayah tersebut yang secara alamiah memungkinkan mudah menjadi bidang gelincir.

Baca Juga: Banjir - Longsor di KBB Telan Banyak Korban, Kepala BNPB Sebut 5 Jasad Sudah Ditemukan Dihari Ketiga

Faktor pemicu berkaitan dengan kejadian-kejadian jangka pendek atau bahkan seketika seperti curah hujan lebat atau gempa bumi.

“Kalau hujan ringan hingga sedang umumnya tidak menyebabkan longsor.,” ungkapnya.

Imam menjelaskan lebih lanjut, hujan di atas lebat atau hujan yang memang ekstrem, 150 mm/hari menurut ukuran BMKG, dapat menjadi faktor pemicu longsoran.

Bencana memiliki tanda-tanda yang mengawali kejadiannya, termasuk longsoran. Gejala tersebut dapat dilihat pada tiga bagian utama dari suatu lereng, yakni bagian kepala (head), tubuh (body), dan kaki (foot). Imam menjelaskan dengan lengkap.

Beliau mengatakan, mekanisme longsor di Kampung Gintung, Kecamatan Cipongkor, berbeda dengan yang terjadi di Kampung Cigombong, Kecamatan Rongga, beberapa waktu lalu.

Gejala di bagian kepala sistem lereng di Kampung Cigombong sudah terlihat dari adanya perkembangan retakan yang relatif melengkung di lapangan depan SD di daerah tersebut. Retakan tersebut menjadi cikal bakal mahkota (bagian paling atas) longsoran.

Sementara di Kampung Gintung, gejala longsoran tidak mudah terlihat karena terjadi di bagian atas lereng perbukitan yang bukan merupakan area aktivitas warga.

Baca Juga: Update! Tim SAR Gabungan Berhasil Temukan Lagi Jasad Korban Longsor Cipongkor KBB, Sisa 6 Dalam Pencarian

Longsoran yang terjadi di Kampung Gintung merupakan longsoran aliran bahan rombakan (debris flow), yang material longsorannya berupa tanah, fragmen batuan, dan bahkan pepohonan yang terbawa oleh air dan menimpa rumah-rumah warga.

Mitigasi kebencanaan perlu peran serta berbagai pihak, mulai dari pemerintah pusat dan daerah, industri, perguruan tinggi, lembaga kemasyarakatan, media massa, hingga pelibatan masyarakat itu sendiri.

“Semua lini harus saling bahu-membahu untuk meningkatkan kewaspadaan akan potensi terjadinya longsoran, minimal mengetahui gejala-gejala awalnya, sehingga akan lebih waspada,” ungkapnya.

Konsep mendasar dalam upaya mitigasi struktural dilakukan dengan pengurangan gaya-gaya yang menyebabkan terbentuknya longsoran (reduction in the driving forces) dan  peningkatan gaya-gaya yang dapat memberikan "perlawanan" untuk terjadinya longsoran (increase in the available resisting forces).

Perbaikan kestabilan lereng secara struktural lebih lanjut dapat dilakukan dengan kegiatan:

  1. a) modifikasi geometri lereng (pelandaian lereng),
  2. b) perbaikan saluran atau drainase,
  3. c) memperbaiki atau memperkuat material pembentuk lereng, dan
  4. d) membangun struktur penyangga.

Untuk longsoran aliran bahan rombakan, mitigasi struktural dapat dilakukan dengan metode perlindungan terhadap bahaya aliran bahan rombakan, contohnya dengan membangun dinding pengelak (deflection wall), pagar pemecah aliran (debris fences), ataupun cekungan penampung aliran (debris flow catch basins).

Cara non struktural dapat dilakukan dengan sosialisasi peta lokasi rawan bencana, memasang rambu-rambu peringatan kebencanaan, dan yang penting semua itu dilakukan dengan melibatkan masyarakat secara aktif dan berkelanjutan.

Hal penting lainnya adalah adanya upaya pemantauan longsoran (monitoring). Upaya ini dilakukan untuk memastikan kinerja stabilisasi lereng yang telah dilakukan, sekaligus digunakan untuk keperluan peringatan dini akan terjadinya bahaya longsoran.

Kewaspadaan diperlukan oleh semua pihak. Bencana alam bisa terjadi kapan saja dan di mana saja. Semakin siap suatu wilayah menghadapi bencana semakin bisa meminimalisir dampak yang terjadi. ***

Editor: Tatang Rasyid

Sumber: itb.ac.id

Tags

Terkini

Terpopuler