Geram dengan Tindakan Pelaku Bom Makassar ke Istrinya, Dosen Psikologi: Ada Apa dalam Jiwa Seorang Teroris?

- 31 Maret 2021, 16:07 WIB
Sejumlah kendaraan melintas pasca terjadinya bom bunuh diri di depan Gereja Katedral Makassar, Sulawesi Selatan, Senin, 29 Maret 2021.
Sejumlah kendaraan melintas pasca terjadinya bom bunuh diri di depan Gereja Katedral Makassar, Sulawesi Selatan, Senin, 29 Maret 2021. /ANTARA FOTO/Arnas Padda

GALAMEDIA – Dosen Psikologi Universitas Pancasila, Ade Iva Wicaksono mengaku geram dengan tindakan pelaku bom bunuh diri Makassar terhadap istrinya.

Ade mengungkapkan bahwa pelaku tersebut turut membawa istrinya yang tengah hamil 4 bulan ketika melakukan aksi teror tersebut. Menurutnya, masyarakat Indonesia pasti akan merasa heran setelah mengetahui fenomena tersebut.

"Ada apa dalam jiwa seorang teroris? Laki-laki muslim millenial membawa istrinya yang hamil 4 bulan, melakukan bom bunuh diri di depan gereja, khalayak pasti merasa 'tidak habis pikir', what is in his mind? Juga istrinya, koq mau?,” tulis Ade Iva Wicaksono yang dikutip Galamedia dari akun Twitter pribadinya, @ivanrivai1992, 31 Maret 2021.

Baca Juga: Demokrat Versi KLB Ditolak, Moeldoko Terungkap Sempat Temui SBY Sambil Membawa Map

Berdasarkan pandangan dari ilmu psikologi, terorisme merupakan cara-cara mengejar tujuan politis dengan memakai tindakan kekerasan terhadap masyarakat sipil dan combatant.

Menurutnya, bom bunuh diri itu didasarkan pada tujuan politis yang sudah barangtentu dikaitkan dengan kemuliaan agama.

Selain itu, Ade juga menyebut, dalam beberapa studi psikologi justru menjelaskan bahwa pelaku bom bunuh diri itu pada dasarnya normal secara psikologis.

Menurutnya, pelaku aksi teror tersebut tidak mengalami gangguan psikologis. Namun, aksi tersebut dilakukan karena adanya beberapa faktor, dimulai dari faktor situasional hingga psikologis.

"Ini adalah pandangan psikologis, yang merasa tidak tepat sila dibantah. Terorisme sebenernya adalah cara-cara mengejar tujuan politis dengan memakai kekerasan terhadap kelompok-kelompok sipil & noncombatant (Lotto, 2017). Jadi di dasarnya melakukan bom bunuh diri itu tujuannya politis, tentu dikaitkan dengan kemuliaan agama," ungkap Ade.

Baca Juga: Sekalipun Menang, Partai Demokrat Tetap Lanjutkan Gugatan Hukum Terhadap 10 Penyelenggara KLB Demokrat

"Mereka normal. Beberapa studi psikologi menegaskan bahwa pelaku bom bunuh diri itu pada dasarnya normal secara psikologis (Lankford, 2014). Mereka tidak mengalami gangguan psikologis, tetapi beberapa faktor mempengaruhi keputusan tersebut. Mulai dari faktor-faktor situasional hingga psikologis," lanjutnya.

Selain itu, Ade menyebut, aksi teror dapat dipengaruhi oleh faktor ideologi. Menurutnya, pelaku aksi teror menganggap seluruh ideologi yang berada di luar keyakinannya sebagai ideologi yang keliru dan perlu dilawan.

Anggapan tersebut akan semakin kuat seiring dengan pelaku aksi teror tersebut mengikuti proses pengkaderan yang diadakan oleh suatu kelompok yang menurutnya telah memberikan jati diri dan rasa nyaman dalam mengarungi kehidupan.

Oleh karena itu, pelaku aksi teror tersebut akan lebih cenderung untuk memisahkan diri dari kelompok lain yang dinilainya tidak sejalan.

Baca Juga: Waduh, New York Negara Bagian ke-15 yang Legalkan Ganja untuk Kesenangan bagi Orang Dewasa

"Ideology, ini juga faktor lain yang menjadi inti "the brain of a terrorist", memberikan struktur berpikir untuk si calon pengantin 'memisahkan' dirinya dari kelompok lain yang tidak sejalan. Kekuatan ideologi ini menguatkan perbedaan "kami" dan 'kita'," ungkap Ade.

Ketika disinggung soal perasaan empati, Ade menyebut bahwa pelaku aksi teror juga memiliki perasaan empati, namun perasaan tersebut hanya berlaku untuk kelompoknya. Jika teman di kelompoknya mengalami penindasan, maka dia akan menolongnya, begitupun sebaliknya.

"Ada juga para ahli yang menyamakan melakukan bom bunuh diri ini sama dengan 'honor killings or sucide', bunuh diri untuk kehormatan. Juga perasaan bahwa ia akan menjadi 'martyr' yg mati demi kemuliaan agama. Sehingga bunuh diri ini justru diidamkan sebagai jalan memasuki dunia lain yang lebih agung," tutur Ade.

"Dengan konteks yang menjadi situasi & kondisi yang memungkinkan terbentuk jiwanya sebagai teroris, maka program-program deradikalisasi haruslah sesuatu yang didahului oleh pemahaman komprehensif mengenai aspek kognitif, emosi & perilaku serta nilai-nilai sang teroris. Konteks berbeda, penanganan berbeda pula," ungkapnya.

Baca Juga: Ogah Lakukan Operasi Pasar, Ini yang Akan Dilakukan Kemendag untuk Stabilkan Bahan Pokok Jelang Ramadhan

Oleh karena itu, Ade meminta kepada masyarakat untuk senantiasa berhati-hati ketika mendapati suatu kelompok yang berusaha membentuk ideologi yang menggambarkan bahwa kelompok tertindas itu sah untuk melakukan kekerasan.

Selain itu, Ade meminta pemerintah dan masyarakat untuk senantiasa waspada ketika melihat faktor-faktor tersebut.

"Hati-hati terhadap institusi, kelompok & pemikiran yang berusaha terus membentuk ideologi, bahwa 'kelompok tertindas' itu sah-sah saja melakukan kekerasan & menolak dipersamakan dengan kelompok lain, padahal dalam satu bingkai negara & bangsa," tutur Ade.

"Sekian, tidak ada yang perlu diromantisir dari bom bunuh diri demi agama, apalagi menuduh konspirasi. Sampe sso menjadi pelaku, ada proses pengkondisian psikologis yang menyertakan banyak faktor. pemerintah & masyarakat harus awas menilik terus faktor-faktor ini, mereka ada di sekitar kita," pungkasnya.***

Editor: Lucky M. Lukman


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah