Penjahat Siber di Masa Pandemi Semakin 'Panen', RUU RDP Masih Deadlock

- 15 September 2021, 14:05 WIB
Anggota Komisi I DPR RI Muhammad Farhan.
Anggota Komisi I DPR RI Muhammad Farhan. /dpr.go.id/Jaka

GALAMEDIA - Di masa pandemi Covid-19, kejahatan siber di Tanah Air semakin bermunculan.

Kasus bocornya data pribadi hingga menyasar perangkat strategis pemerintah dalam menangani pandemi Covid-19 jadi contoh.

Kondisi tersebut menandakan benteng pencegahan dunia maya mudah ditembus penjahat siber.

Anggota komisi 1 DPR RI dari Fraksi NasDem, Muhammad Farhan angkat bicara soal hal itu.

Baca Juga: Salip Sensasi Drakor! 7 Aktor C-Drama Paling Ganteng dan Populer Saat Ini, No 3 Definisi Sempurna

Ia menilai perangkat negara yang harus diperkuat untuk melawan itu saat ini di antaranya Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) dengan payung hukum yang kuat yaitu Undang-undang Keamanan dan Ketahanan Siber Nasional.

"BSSN perlu diperkuat untuk membangun pertahanan dan keamanan siber di Indonesia," kata Farhan, Rabu, 15 September 2021.

"Penguatan legislasi dan anggaran negara untuk membangun jaringan pertahanan dan keamanan siber nasional," tambahnya.

Namun, lanjut Farhan, upaya perlindungan saat ini masih terkendala di DPR karena belum ada titik kesepakatan untuk mengesahkan RUU PDP.

"PDP masih deadlock karena masih ada beberapa poin yang belum disepakati oleh Pemerintah dengan Komisi 1," ungkapnya.

Baca Juga: 7 Artis Pria Paling Laris di Indonesia, Arya Saloka dan Rizky Billar Masih Kalah dengan Sosok Ini

"Namun dalam tata tertib pasal pembahasan telah menghabisakan 3 masa persidangan dan dua tambahan masa persidangan. Kami ajukan agar pimpinan DPR RI dan Badan Musyawarah 9 Fraksi di DPR RI memberikan kembali kesempatan bagi menuntaskan RUU PDP," lanjut mantan presenter itu.

Lebih lanjut pria berkaca mata itu mengatakan, pembahasan RUU PDP yang alot berada pada belum adanya kejelasan terkait statuta pemegang otoritas penuh penindakan.

"Deadlock nya adalah status otoritas perlindungan pata apakah independen di bawah Presiden, internal Kemenkominfo, atau hybrid (bawah Presiden yang pejabatanya ditunjuk oleh Menkominfo)," kata dia.

Selain itu, juga belum ada kejelasan batasan jangkauan kategori data yang wajib dilindungi.

Baca Juga: Spoiler Ikatan Cinta 15 September 2021: Musuh Hartawan Semakin Menjadi, Al Dijadikan Korban Selanjutnya

"Perdebatan apakah agregasi data pribadi termasuk salam subjek perlindungan data pribadi. Perdebatan apakah perlindungan data pribadi, selain mengatur perlindungan data elektronik juga mengatur perlindungan data non elektronik?" jelas Farhan.

Ia juga menyatakan, dalam RUU PDP terdapat tiga kepentingan menyesuaikan dengan ekosistem digital di Tanah Air.

Yaitu, kepentingan bisnis, layanan publik dan kepentingan politik. Kepentingan bisnis atau ekonomi adalah kepentingan para pelaku bisnis digital yang melakukan monetasi atas data pribadi yang dikumpulkan, dikuasai, dikelola dan diolah.

Baik itu untuk kepentingan bisnis iklan (adsense), konsultasi marketing ataupun direct selling.

"Kepentingan layanan publik menyangkut masalah administrasi publik untuk layanan kesehatan publik, pendidikan nasional, pendaftaran pemilihan umum, penelitian ilmiah, sensus penduduk, sensus ekonomi, sensus pertanian dan penegakan hukum," terang Farhan.

"Dalam hal ini pemerintah juga berkepentingan untuk melindungi data karya hak cipta budaya, seni dan ilmiah," pungkasnya.***

Editor: Lucky M. Lukman


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x