Tak Mau Kalah, Yusril Ihza Mahendra Terang-terangan Serang Balik Jimly Asshiddiqie

- 2 Oktober 2021, 20:15 WIB
Yusril Ihza Mahendra.
Yusril Ihza Mahendra. /Tangkapan layar Instagram.com/yusrilihzamhd


GALAMEDIA - Dukungannya terhadap kubu Moeldoko, Yusril Ihza Mahendra mendapat serangan dari sejumlah pihak. Terkecuali dari anggota DPD RI Jimly Asshiddiqie.

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Ini mengingatkan Yusril menyatakan tegaknya hukum harus seiring dengan etika.

Yusril tampaknya tak terima mendapat nasehat dari Jimly. Ia pun melakukan serangan balik.

"Pertanyaan yang sama bisa saja dikemukakan, apa pantas seorang anggota badan legislatif mengomentari sebuah perkara yang sedang diperiksa badan yudikatif?" ujar Yusri dalam keterangannya, Sabtu, 2 Oktober 2021.

Prof Jimly sebelumnya menyoroti posisi seorang advokat menjadi ketua umum partai politik.

Menurutnya, secara etika kepantasan dan etika bernegara hal itu sulit diterima, apalagi kemudian mempersoalkan AD/ART partai politik lain.

Baca Juga: LINK LIVE STREAMING Persib vs PSM, Ini Dia Sosok Pembobol Gawang Juku Eja pada Laga Pamungkas ISL 2010

Mantan Ketua ICMI ini memang tidak menyebut nama Yusril dalam kicauannya di media sosial Twitter.

Namun, Yusril dalam kapasitasnya sebagai advokat, diketahui sedang mengajukan uji formal dan materiel terhadap AD/ART Partai Demokrat ke Mahkamah Agung.

Yusril mewakili empat mantan kader partai berlambang mercy yang sebelumnya dipecat DPP PD di bawah kepengurusan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).

Yusril juga mempertanyakan apa pantas MK menguji UU MK, di mana lembaga tersebut punya kepentingan baik langsung maupun tidak langsung dengan undang-undang dimaksud.

"Prof Jimly (saat menjabat Ketua MK) beberapa kali menguji undang-undang yang justru MK dan hakim MK berkepentingan dengan UU yang diuji itu. Prof Jimly akan menjawab tidak ada undang-undang yang melarang MK menguji UU MK."

"Ya memang tidak, tetapi apa pantas? Apa pantas MK memeriksa pengujian undang-undang yang MK berkepentingan dengannya? Berapa banyak itu dilakukan semasa Prof Jimly jadi Ketua MK?" ujarnya.

Baca Juga: Risma Kerap Ngamuk Langgar TAP MPR, Wakil Ketua MPR RI: Justru Rawan Memperuncing Hubungan

Ia pun menyatakan, dalam hal ini bukan sekadar persoalan etika kepantasan, tetapi berkaitan langsung dengan norma etika fundamental terkait dengan keadilan dan sikap iparsial, serta juga norma hukum positif. Misalnya, UU Kekuasaan Kehakiman.

"Dalam pengalaman saya, kalau seseorang terpojok dalam debat intelektual dan akademis, biasanya mulai mencari-cari dalil untuk escape," kata Yusril.

"Jalan paling mudah untuk escape itu ya menuduh pihak lain tidak etis, tidak pantas, kurang elok yang tidak pernah jelas batasan-batasannya," sambungnya.

Dalam pandangannya Yusril juga memaparkan bahwa dalam filsafat, norma etik adalah norma fundamental yang melandasi norma-norma lain termasuk norma hukum. Dengan begitu, norma hukum yang bertentangan dengan norma etik seharusnya dianggap sebagai norma yang tidak berlaku.

"Nah, yang dibicarakan Prof Jimly adalah etika kepantasan, soal pantas atau tidak pantas, yang secara filosofis bukan norma fundamental seperti dibahas Immanuel Kant atau Thomas Aquinas dalam Summa Theologia atau dalam tulisan-tulisan Al Ghazali," katanya.

Menurut Yusril, norma etika kepantasan yang disebut-sebut Prof Jimly tidak lebih dari norma sopan santun yang bersifat relatif dan sama sekali bukan norma fundamental dan absolut sebagaimana dalam norma etik.

Yusril kemudian mencontohkan ketika ada orang Batak bertamu ke rumah orang Sunda dan dia menyodorkan tangan untuk bersalaman dengan tuan rumah.

Menurut Yusril, gaya, tata cara dan bersalaman tamu orang Batak itu mungkin tidak sesuai dengan etika kepantasan orang Sunda. Namun, tamu orang Batak itu bukan orang jahat.

Baca Juga: Terus Kampanyekan Cegah Gerakan Radikal, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas: Jangan Mudah Terprovokasi

Lain halnya jika tamu itu pulang, sendok garpu tuan rumah dikantongi diam-diam.

"Pencurian adalah pelanggaran norma etika (seperti disebut dalam Ten Commandements dan Mo Limo dalam falsafah Jawa)," katanya.

"Soal etika kepantasan yang disebut Prof Jimly bukan hal fundamental. Norma sopan santun itu konvensional, bahkan kadang tergantung selera untuk mengatakan pantas atau tidak pantas," tandasnya.***

Editor: Dicky Aditya


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x