"Mereka telah meninggal atau pergi mengungsi." katanya
Dari kejauhan, lanskap kota yang dulunya merupakan gedung-gedung tinggi kini tampak hancur berantakan. Potongan-potongan bantaran sungai runtuh ke dalam air, sementara para tentara menutup jembatan yang rusak.
Baca Juga: Alasan Demosi 1 Tahun Bharada Eliezer Tak Dipecat dari Polri
Papan-papan reklame telah hancur dan papan nama yang berserakan di antara reruntuhan menjadi pengingat akan toko-toko yang dulunya memenuhi jalanan yang ramai.
"Jalanan kami dulu adalah surga," kata Ay. "Dalam satu malam, semuanya hancur."
Ay berlindung bersama istrinya, Fatmeh, dan anak perempuan mereka di salah satu kamp yang didirikan untuk menyediakan tempat tinggal sementara bagi mereka yang kehilangan tempat tinggal.
Sebuah generator meraung-raung di tengah obrolan orang-orang yang berkumpul di sekitar tungku kayu di luar tenda mereka.
"Kami tidak bisa meninggalkan kamp," katanya. "Sulit untuk berjalan-jalan karena berbahaya ke mana pun Anda pergi. Bangunan-bangunan itu berbahaya. Sebelum Anda menyadarinya, sebuah bangunan bisa runtuh dan menimpa Anda."
Sebelumnya, saat matahari terbenam di sebuah alun-alun di sebelah balai kota, para tentara, sukarelawan, dan penyintas berbaris di truk makanan dan pom bensin untuk makan malam dan minum teh.
Di sebuah bundaran, patung pendiri Turki modern, Mustafa Kemal Ataturk, yang sedang menunggang kuda, masih berdiri. Tepat di bawahnya, sebuah plakat marmer dengan kutipan terkenalnya tentang provinsi Hatay yang menjadi bagian dari Turki tergeletak di tanah.