RUU Cipta Kerja Sunat Pesangon dari 32 Jadi 25 Bulan, Bikin Buruh Ngamuk

- 5 Oktober 2020, 14:31 WIB
RUU Cipta Kerja akan segera diresmikan meski di tengah situasi potensi resesi ekonomi.
RUU Cipta Kerja akan segera diresmikan meski di tengah situasi potensi resesi ekonomi. /RRI

GALAMEDIA - Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menyebut pemerintah dan Badan Legislasi DPR telah mengurangi nilai pesangon pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) dari yang awalnya sebanyak 32 bulan upah menjadi tinggal 25 bulan saja.

Ia merinci dari 25 bulan upah, sebanyak 19 bulan upah akan dibayar oleh pengusaha dan 6 bulan dibayar BPJS Ketenagakerjaan. Atas dasar itulah, pihaknya menolak keras keputusan itu.

"Dari mana BPJS mendapatkan sumber dananya? Dengan kata lain, nilai pesangon berkurang walaupun dengan skema baru yaitu 19 bulan upah dibayar pengusaha dan 6 bulan dibayar BPJS Ketenagakerjaan, tidak masuk akal," ungkap Said dalam pernyataannya dikutip Senin 5 Oktober 2020.

Baca Juga: Pemilik dan Komisaris Abuba Meninggal Dunia Terpapar Covid-19, Manajemen Rilis Keterangan Resmi

Tak hanya soal pesangon, Said mengatakan pihaknya juga menolak beberapa poin yang diatur dalam RUU Cipta Kerja. Poin pertama menyangkut  formula penetapan upah minimum kota/kabupaten (UMK) bersyarat dan penghapusan upah minimum sektoral kota/kabupaten (UMSK) dalam RUU Cipta Kerja.

Menurutnya, UMK tidak perlu bersyarat dan UMSK harus tetap ada.

"Tidak adil jika sektor otomotif seperti Toyota, Astra dan lain-lain atau sektor pertambangan seperti Freeport dan lain-lain, nilai UMK nya sama dengan perusahaan baju atau perusahaan kerupuk. Oleh karena itu di seluruh dunia ada upah minimum sektoral yang berlaku sesuai nilai kontribusi masing-masing industri terhadap produk domestik bruto (PDB)," papar Said.

Baca Juga: Bikin Unggahan Nyeleneh di tiktok dan Resahkan Jamaah, Pemilik Akun @kenwilboy Diamankan Polisi

Poin kedua,  soal perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT). Said bilang pihaknya menolak jika buruh termasuk outsourcing diberikan kontrak seumur hidup.

Menurutnya, ini menjadi hal yang serius bagi buruh karena berkaitan dengan jaminan kehilangan pekerjaan (JKP) untuk outsourcing.

"Siapa yang akan membayar JKP untuk outsourcing, tidak mungkin buruh membayar kompensasi untuk dirinya sendiri dengan membayar iuran JKP," terang Said.

Poin ketiga berkaitan dengan jam kerja. Buruh memandang jam kerja yang akan diatur dalam UU Cipta Kerja cenderung eksploitatif.

Baca Juga: Lima Tenaga Kesehatan Terpapar Covid-19, Puskesmas Melong Tengah Cimahi Ditutup Sementara

Apalagi dalam aturan itu nantinya, hak cuti dan hak upah atas cuti hilang.  Bukan hanya itu, penolakan juga dilakukan karena pihaknya merasa, RUU Cipta Kerja berpotensi menghilangkan jaminan pensiun dan jaminan kesehatan buruh karena status outsourcing berubah menjadi seumur hidup.

Terpisah, Perwakilan Gerakan Buruh Bersama Rakyat (Gebrak) Nining Elitos mengungkapkan pihaknya juga menolak penghapusan UMSK. Pasalnya, perlu ada penentuan minimal upah bagi pekerja sektoral.

Menurutnya, pemerintah tak seharusnya membiarkan penentuan upah minimum ditentukan dengan skema bipartit antara pengusaha dan buruh. Jika seperti ini, maka buruh akan kalah.

"Berapa banyak buruh yang berserikat dari jutaan perusahaan, kalau upah dikembalikan antara pengusaha dan buruh, ya buruh tidak menang," kata Nining.

Baca Juga: Anies Baswedan Dipuji Tokoh Papua, Disebut Simbol Pemersatu Bangsa

Menurut dia, pemerintah di sini seperti lepas tangan terhadap buruh. Jika nanti buruh mengadu, pemerintah punya alasan bahwa ketentuan upah sektoral memang ditentukan oleh perusahaan.

"Jadi buruh tidak ada nilai tawar, pemerintah tinggal bilang hukumnya tidak ada. Pemerintah tidak bisa melakukan apa-apa karena memang hukumnya seperti itu, ini seperti pemerintah melepaskan pertarungan antara buruh dengan pengusaha," jelas Nining.

Secara keseluruhan, ia sepakat dengan semua poin penolakan yang disampaikan oleh Said. Nining menilai pemerintah dan DPR tak pernah terbuka soal pembahasan RUU Omnibus Law Cipta Kerja dari sejak awal.

"Lahirnya undang-undang ini nantinya tidak demokratis, tidak terbuka dari awal. Buruh, petani, masyarakat adat tidak diajak. Dari berbagai macam sektor masyarakat lain juga tidak diajak," ujar Nining.

Baca Juga: Benarkan Teh Hijau Lebih Baik dari Teh Hitam? Ketahuilah Ini Kandungan dan Kebutuhannya

Untuk itu, serikat pekerja sepakat untuk melakukan aksi mogok pada 6 Oktober hingga 8 Oktober 2020. Untuk 6-7 Oktober 2002, aksi mogok akan dilakukan dengan melakukan unjuk rasa di berbagai kawasan industri dan perusahaan di seluruh wilayah, sedangkan 8 Oktober 2020 akan melanjutkan unjuk rasa di DPR.

"Kami terus lakukan perlawanan, kami minta pembatalan seluruh poin di RUU Omnibus Law Cipta Kerja. Untuk aksi selanjutnya setelah 8 Oktober 2020 masih kami bahas," ucap Nining.***

Editor: Dicky Aditya


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x