Menjadi Pemimpin, Antara Pilihan dan Konsekuensi

3 Juli 2021, 13:55 WIB
Foto Penulis./dok.istimewa /

GALAMEDIA - Saya coba menulis lagi dan berbagi terkait situasi yang kita hadapi saat ini.

Ada beberapa respons yang masuk ke inbox di WA saya, sesaat setelah saya share tulisan saya tentang "Extra Ordinary".

Beberapa di antaranya, dari teman saya yang bekerja untuk sebuah lembaga philanthrophy TV swasta di Jakarta.

Beliau menulis: "Saya tak sanggup melanjutkan membacanya. Tiga hari sebelumnya baru dua puluh, hari kemarin empat puluhan dan hari ini sudah enam puluhan. Sementara itu, keluarga adik dan keponakan saya sedang isoman di rumahnya di Jakarta. Punten Kang kalau saya tidak sanggup membacanya, karena saya tidak tau apakah saya sanggup menghadapi kenyataan seperti itu..."

Baca Juga: Tanggap Darurat Covid-19, Kemensos Dirikan Dapur Umum di Balai Wyata Guna Bandung

Seorang dokter specialis anak, sahabat dan teman SMA almarhumah istri saya di Bandung menyampaikan hal lain lagi:

"Kang sebagai teman almarhumah saya amat sangat berduka, maafkan saya belum secara khusus mengucapkan duka cita. Di hari yang bersamaan saya harus resusitasi bayi usia 2 hari yg mengalami perburukan. Sedangkan saya juga penyintas Covid-19 dengan beberapa comorbid. Selain harus mengukur diri kemampuan fisik saya, bahkan di satu RS yang saya mengabdi sekarang, saya harus menjad satu-satunya dr anak yg bertahan, karena dua teman saya terpapar covid. Mohon maaf, atas keterbatasan kami. Indonesia belum bisa belajar: Dari sisi kebijakan kita, nakes kebagian beberes di hilir, tapi upaya-upaya mengurangi kasus di hulu belum optimal. Dari sisi warga negara, kebersamaan dan rasa saling bertanggung jawab menghadapi pandemi ini masih kurang."

Saat saya sedang membuat tulisan ini, tiba-tiba email dari kantor masuk, menginfokan salah satu teman kantor kami berpulang karena terpapar.

Baca Juga: Duka Mendalam Dirasakan Megawati atas Wafatnya Rachmawati: Semoga Diampuni Dosa-dosanya

Terlalu panjang kalau saya kutip semuanya, saya ingin bagikan satu lagi saja dari sahabat almarhumah:

"Saya benar-benar speechless, entah harus menyampaikan apa. Setiap kali ingat almarhumah saya selalu meneteskan air mata. Interaksi saya dg almarhumah. memang tidak intens, tapi karena keluarga kita sudah saling berkunjung saya jadi melihat betapa dekat dan hangatnya kekeluargaan kita. It breaks my heart.. dan saya pun jadi terpikir tentang keluarga kami sendiri. bagaimana kalau..bagaimana kalau..."

Rumah saya hanya sekitar seratus meter dari jalan raya utama. Raungan suara ambulans yang hilir mudik sangat intens terdengar hampir setiap lima belas menit sekali, berbeda dari biasanya.

Siapa dan harus mengambil sikap seperti apa, disaat-saat situasi genting seperti sekarang ini?

Ada quote yang disampaikan seorang arif, "Musibah bukan semata-mata ujian bagi yang terdampak secara fisik, musibah juga ujian bagi yang ‘selamat’. Yang terdampak secara fisik diuji kesabarannya, yang ‘selamat’ di uji rasa kemanusiannya".

Baca Juga: Semoga Tenang di Sisi-Nya, Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan Berduka: Sedih Sekali Saya Mendengarnya

Kepada para pemimpin dalam formasi dan level manapun, utamanya pemimpin pemerintahan yang memiliki kewenangan mengambil kebijakan:

Masihkan Anda belum yakin bahwa Extra Ordinary Policy saat ini, sudah sangat mendesak untuk dikeluarkan?

Jika Anda, keluarga Anda atau orang-orang yang Anda kasihi, saat ini dalam posisi sebagai orang-orang yang tidak terdampak dan ‘selamat’ secara fisik, maka secara hakiki rasa kemanusiaan dan posisi Anda dihadapan Tuhan Anda sedang diuji.

Kami memahami kerepotan yang sedang Anda hadapi, kegelisahan, dan kepanikan dihadapan semua situasi ini. Masalahnya semua adalah pilihan, yang konsekuensinya harus diterima.

Baca Juga: DKI Lagi Genting, Anies Minta ASN Serius Awasi Pelaksanaan PPKM Darurat: Jangan Tunggu Laporan!

Raungan suaranya ambulans memakan telinga masih terus meraung-raung, membawa ingatan ke suasana hingar bingar yang mereka bilang pesta demokrasi. Saudara, teman, bahkan sahabat menjadi terputus, oleh dan atas nama kontestasi.

Saya coba menenangkan diri lewat pesan-pesan yang lebih kontemplatif: "Setiap kamu adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan diminta pertanggung jawabannya”.

Yakin masih mau jadi pemimpin? Atau dukung mendukung salah satu kandidat ? Dengan segala cara, mengabaikan nurani dan akal sehat?

Pengirim
Asep M Mulyana
Pekerja Pembangunan Lembaga Donor Int

Seluruh materi dalam naskah ini merupakan tanggung jawab pengirim. Gugatan, somasi, atau keberatan ditujukan kepada pengirim

Editor: Lucky M. Lukman

Tags

Terkini

Terpopuler