Tuntutan Jaksa Terbantahkan, Terdakwa Kasus RTH Dadang Suganda Merasa Didzolimi dan Dirugikan

- 10 Juni 2021, 19:35 WIB
Sidang perkara dugaan korupsi pengadaan lahan RTH Kota Bandung dengan agenda pembacaan nota pembelaan dari terdakwa Dadang Suganda, di Pengadilan Tipikor Bandung, Jln. L.L.R.E Martadinata, Kamis, 10 Juni 2021./Lucky M Lukman/Galamedia
Sidang perkara dugaan korupsi pengadaan lahan RTH Kota Bandung dengan agenda pembacaan nota pembelaan dari terdakwa Dadang Suganda, di Pengadilan Tipikor Bandung, Jln. L.L.R.E Martadinata, Kamis, 10 Juni 2021./Lucky M Lukman/Galamedia /

GALAMEDIA - Pengusaha asal Kota Bandung, Dadang Suganda merasa didzolimi dan dirugikan karena dijadikan terdakwa dalam kasus dugaan korupsi pengadaan lahan ruang terbuka hijau (RTH) Kota Bandung.

Ia pun membantah telah melakukan praktik tindak pidana pencucian uang (TPPU) seperti yang dituduhkan oleh Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Sebelumnya, pada sidang beberapa waktu lalu, Dadang dituntut oleh PU KPK dengan hukuman 9 tahun penjara.

Hal itu disampaikan Dadang Suganda saat membacakan pleidoi atau nota pembelaannya dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Bandung, Jln. L.L.R.E Martadinata, Kamis, 10 Juni 2021.

Dalam pembelaannya, Dadang bercerita terkait profesinya yang menekuni jual beli tanah. Namun pekerjaannya itu malah membawa dia dijadikan tersangka korupsi.

Diungkapkan Dadang, terkait dengan kasus ini, ia awalnya mendapatkan undangan terkait sosialiasi program pengadaan tanah untuk RTH pada tahun 2012.

Baca Juga: Minta Bantuan DPR RI Soal PPN Sembako, Menteri Keuangan Sri Mulyani: Hoaks yang Bagus Banget!

Dadang mengaku mengikuti program tersebut karena tanah miliknya masuk ke dalam titik lokasi yang akan dijadikan RTH.

"Keputusan saya untuk mengikuti program pemerintah tersebut karena saya yakin sebagai warga negara yang baik saya harus dapat mendukung program pemerintah," papar Dadang.

Ia juga membantah melakukan persekongkolan dengan aparatur sipil negara (ASN) Pemkot Bandung terkait pengadaan lahan tersebut. Dadang mengaku mengikuti semua rangkaian proses sosialisasi hingga penentuan harga sesuai dengan aturan yang berlaku.

"Saya mengikuti program tersebut sesuai dengan proses yang harus dilalui, saya mendapat undangan untuk mengikuti sosialisasi, atas undangan tersebut saya hadir di Pemkot Bandung," ujarnya.

"Setelah sosialisasi tersebut saya juga mengikuti musyawarah untuk menyepakati harga, musyawarah ini juga dilakukan berkali-kali hingga di munculnya kesepakatan. Di mana kami para pemilik tanah dengan Pemerintah Kota Bandung sepakat bahwa tanah dijual kepada Pemerintah Kota Bandung dengan harga NJOP 75 persen lebih," papar Dadang yang saat sidang mengenakan pakaian batik.

Baca Juga: Firli Bahuri Mangkir dari Panggilan Komnas HAM, Febri Diansyah: Praktek Berwawasan yang Patut Dicontoh

Dalam prosesnya, Dadang mengakui mendapat keuntungan. Namun, keuntungan tersebut ia peroleh secara murni dari penjualan tanah.

"Ini bukan kerugian negara karena harga tersebut telah disepakati antara kami pemilik tanah dengan Pemerintah Kota Bandung," tegasnya.

Dadang pun kembali menjelaskan, dengan adanya kegiatan pengadaan lahan itu, dirinya yang kemudian mengalami kerugian. Pasalnya, pengadaan lahan itu malah menjadi kasus yang akhirnya ditangani oleh KPK.

"Justru dengan adanya kasus ini saya lah yang sangat dirugikan bukan negara. Tanah-tanah yang saya jual ke Pemerintah Kota Bandung yang saat ini telah balik nama dan menjadi aset Pemerintah Kota Bandung," terang dia.

"Saya juga diminta mengembalikan uang yang telah saya terima dari hasil penjualan tanah saya," tambahnya.

Dadang mengaku dirinya didzolimi dengan penetapannya sebagai tersangka hingga diadili di meja hijau. Padahal dia mengaku sama sekali tak pernah terlibat dalam penyelewengan dana.

Baca Juga: Panglima TNI Minta Masyarakat Tidak Menanggalkan Masker

"Saya merasa sangat didzolimi ketika saya telah dijadikan tersangka," tegasnya.

Pada nota pembelaannya, Dadang juga berbicara mengenai dirinya yang dijerat tindak pidana pencucian uang (TPPU).

Ia mengaku merasa heran karena surat penyidikan baru berkaitan dengan TPPU itu keluar saat dirinya menolak jadi justice collaborator (JC).

"Ada oknum penyidik KPK yang menawarkan saya menjadi justice collaborator, hal ini saya tolak dengan tegas dan dengan alasan dan keyakinan saya yang kuat bahwa saya tidak bersalah," ungkapnya.

"Namun dengan adanya penolakan tersebut, keluar Surat Perintah Penyidikan baru dengan adanya dugaan Tindak Pidana Pencucian Uang," terang Dadang.

Selain itu, Dadang membantah adanya pencucian uang. Sebab, dia mengaku selama ini profesinya sebagai pengusaha yang juga bergelut dibidang jual beli tanah.

"Sehingga sangat tidak masuk akal saya diduga melakukan Tindak Pidana Pencucian Uang. Sangat tidak berdasar apa yang dituduhkan pada saya, penghasilan tidak halal yang mana? hingga saya disebut melakukan pencucian uang," tuturnya.

Baca Juga: Pastikan Live Streaming Berbayar, Laga Persib vs Persikabo 1973 Tak Bisa Ditonton Gratis Bobotoh

"Atas diduganya tindak pidana pencucian uang tersebut, banyak harta saya yang disita oleh KPK, yang di mana harta-harta tersebut tidak ada sama sekali kaitannya dengan tindak pidana pencucian uang, atas harta tersebut juga saya telah buktikan bahwa didapat dari penghasilan yang sah dan halal, oleh karena itu saya meminta harta-harta tersebut dikembalikan kepada saya," papar Dadang.

Usai persidangan, kuasa hukum Dadang, Efran Helmy Juni menegaskan pihaknya juga mengajukan pleidoi yang dibacakan oleh tim kuasa hukum.

Pleidoi ratusan halaman itu berisi mengenai bantahan atas tuduhan-tuduhan jaksa KPK. Menurut dia, dengan disampaikannya pleidoi itu maka tuntutan jaksa terbantahkan.

"Jadi secara yuridis normatif kita menyampaikan suatu gambaran yang utuh bagaimana cara menanggapi surat tuntutan terdiri dari perspektif yuridis normatif, yuridis positif itu kan bisa kemudian kita urai satu persatu unsur-unsur yang pada prinsipnya bisa kita buktikan dengan fakta-fakta persidangan yang memang tidak ada yang mampu dibuktikan secara sah meyakinkan baik tindak pidana pencucian uang maupun tindak pidana korupsi," terang Efran.

Adapun unsur yang diurai antara lain terkait penerapan Pasal 3 UU Tipikor. Menurut dia, hal itu bertentangan fakta yang ada.

Baca Juga: Gelar Rakerda, PDI Perjuangan Jabar Bahas Kemenangan Pemilu hingga Komitmen Membangun Desa

"Beliau itu kan kalau melihat dari alur tuntutan itu kan memenuhi kriteria yang dimaksud pasal 3 UU Tipikor," katanya.

Pasal 3 itu, lanjtu Efran, lebih cenderung kepada pelaku dalam hal ini Aparatur Sipil Negara (ASN), atau penyelenggara negara.

"Yang tadi kita urai unsur pasal 3 untuk penyelenggara negara dalam jabatan kewenangan itu bisa kita buktikan nggak ada hubungan dengan Pak Dadang ini karena beliau swasta ya. Urusan itu jadi clear terang benderang," tegasnya.

Disinggung soal TPPU, Efran juga menyebut perlu ada pembuktian terlebih dahulu. Sehingga, kata dia, tidak logis apabila TPPU dikenakan pada kliennya.

Baca Juga: Tokyo Revengers Episode 10: Akkun Datang Menyelamatkan Takemichi, Pertarungan Baru Dimulai

"Ini kan salah satu yang tidak masuk akal dan logis. Apa yang kami sajikan di nota pembelaan kajian-kajian keilmuan kajian yang memang penuh nilai keilmuan norma keilmuan dengan doktrin hukum dan yurispidensi yang sudah ada," terangnya.

"Itu jadi landasan kuat yang pada intinya bukan hanya membuktikan beliau tidak terbukti secara meyakinkan yang terbukti itu pada prinsipnya di persidangan ini mengenai jual beli. Sehingga kalau fakta itu diambil alih sebagai pertimbangan mudah-mudahan ada putusan yang terbaik membebaskan pak Dadang," jelas Efran.

Sebelumnya, Terdakwa kasus korupsi ruang terbuka hijau (RTH) Kota Bandung Dadang Suganda dituntut sembilan tahun penjara. Ia kecewa dengan tuntutan tersebut.

Sidang perkara ini akan dilanjutkan pada 17 Juni 2021 mendatang dengan agenda replik atau tanggapan Penuntut Umum KPK atas nota pembelaan terdakwa.***

Editor: Lucky M. Lukman


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x