Tiga Tokoh Nasional dari Penjara ke Penjara yang Melahirkan Karya Berpengaruh di Dunia

7 Februari 2024, 09:30 WIB
Tokoh Nasional Indonesia / Penulis Indonesia /

GALAMEDIANEWS – Karya adalah buah pikir dari manusia yang sadar akan dirinya yang diberikan fasilitas paling mewah oleh Tuhan. Fasilitas itu sendiri yang kemudian membedakan manusia dengan Hewan, yaitu pikiran.

Manifestasi dari pikiran itu sendiri beragam, di antaranya adalah bekas tangan atau tulisan. Artikel ini memuat tiga tokoh yang telah berkontribusi kepada Indonesia melalui tulisan sekalipun mereka ditimpa masa-masa sulit yang kita sendiri akan berdecak kagum bahkan menghela napas saat membacanya.

Baca Juga: Rekomendasi 6 Negara Pilihan Studi Internasional yang Anti Rugi untuk Mahasiswa Luar Negeri

Tiga tokoh tersebut adalah Tan Malaka, Buya Hamka, dan Pramoedya Ananta Toer.

1. Tan Malaka

Tan Malaka menjalankan pembuangannya yang pertama, yaitu dari Indonesia, pada 22 Maret 1922. Dalam pembuangannya itu, ia diiringi dengan buku dalam satu peti besar.

Berisi di antaranya buku-buku Agama, Quran dan Bibel, Buddhisme, Confucianisme, Darwinisme, buku perkara sosialis dan komunitis.

Akan tetapi buku-buku itu harus ditinggalkannya di Nederland ketika ia pergi ke Moskow, karena perjalanan yang melalui Polandia yang bermusuhan dengan Komunisme.

Delapan bulan lebih Tan berada di Moskow, dan setelah meninggalkan Rusia Tan tidak membawa buku apapun karena pemeriksaan di perbatasan Rusia sangat ketat.

Kemudian setelah sampai di Tiongkok dan Indonesia Tan kembali mengumpulkan buku-buku yang berhubungan dengan ekonomi, politik, sejarah, ilmu pengetahuan, science, buku yang berdasar pada sosialisme dan komunisme.

Baca Juga: Warga Indonesia jadi Korban Kebakaran Hutan di Australia, Ratusan Orang Tewas pada Peristiwa 7 Februari 2009

Perang Jepang dan Tiongkok di Shanghai 1931 di jalan Nort Su Chuan Road, di kampuang Wang Pan Cho, tepat di tempat peperangan pertama meletus Tan terkepung.

Kemudian setelah 3 hari Jepang memberikan izin kepada kampung tempatnya tinggal untuk pindah pada tempat yang lebih aman. Tan mengatakan “Dalam tempo lima menit,” walhasil buku-buku harus ditinggalkan kembali.

Peristiwa itu tidak membuat Tan putus asa. Di Hongkong, 10 Oktober 1932, Tan kembali ditangkap dan dipenjara selama dua tahun setelah memiliki satu peti buku, tetapi satu peti buku itu harus lepas pula setelah ia melepaskan diri di Amoy.

1936 – 1937 Tan kembali berhasil membuat pustaka baru, akan tetapi harus dilemparkannya ke laut setelah tentara Jepang masuk pada 1937. Setelah tiga tahun berselang, di Singapura Tan menjadi seorang pengajar di sekolah Normal Tinggi sebagai guru bahasa Inggris, dan mulai kembali mengumpulkan buku-buku.

Dari perjalanan panjang itu, lahirlah kemudian Madilog.

2. Pramoedya Ananta Toer

Pramoedya Ananta Toer ialah orang yang telah melakukan perjalanan penjara dalam tiga masa yang berbeda: Zaman Belanda, Orde Lama, sampai kemudian masa melelahkan di era Orde Baru dengan nomor tapol 641; masa melelahkan itu terjerat 14 tahun lamanya, 1965-1979, dengan tuduhan yang tidak jelas dan tidak pernah ada pengadilan.

Baca Juga: Beasiswa MEXT Scholarship Embassy Track 2024, Peluang Studi S2/S3 di Jepang Tanpa Kewajiban Pulang

Pertama ia dibawa ke penjara Salemba 13 Oktober 1965 – Juli 1969, lalu berlayar ke Nusakambangan dan mendekam dari bulan Juli 1969 – 16 Agustus 1969, barang sejenak di Nusakambangan kemudian Pram berlayar dan menetap di Pulau Buru dari bulan Agustus 1969 – 12 November 1979, pada tahun 1973 Pram mendapat izin menulis dalam tahanan, dan di Pulau Buru itulah lahir buah pikir yang kemudian dikenal dengan Tetralogi Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa,Jejak Langkah, dan Rumah Kaca.

Setelah kilas hidupnya di Pulau Buru, Pram kemudian dibawa ke Magelang/Banyumanik, November – Desember 1979. Pada bulan Desember itu, 27 Desember 1979, Pram dinyatakan bebas, tetapi bebas dalam tanda kutip. Artinya, Pram wajib melapor kepada Kodim Jakarta Timur 1x dalam seminggu selama kurang lebih 2 tahun, lalu 1x dalam sebulan.

3. Buya Hamka

Dr. H. Abdul Karim Amrullah alias Haji Rasul atau dikenal dengan nama penanya Buya Hamka. Penyandang gelar Doktor Honoris Causa dari al-Azhar University, 1959, ini lain dengan dua tokoh di atas. Pasalnya bekas tangannya bukan hanya menjadi karya yang abadi tetapi dijadikannya sebagai obat selama ia menjadi tahanan politik zaman Orde Lama, 27 Januari 1964.

Baca Juga: Jadwal Acara TV Hari Ini, 7 Februari 2024 - Trans TV, ANTV, RCTI, GTV, MNCTV, Trans7, Indosiar, SCTV, NET TV

Dikutif dari muqodimahnya dalam bukunya Tasawuf Modern, bahwa Hamka dituding dengan kalimat “Saudara pengkhianat, menjual negara kepada Malaysia!” dan tudingan itu mendatangkan bisikan setan untuknya mengambil pisau silet yang berada di dalam sakunya agar dipotongnya urat nadinya.

Namun, ia berhasil melawan bisikan setan itu. Sampai kemudian Tasawuf Modern dijadikannya bahan bacaannya sendiri setelah Hamka dipindahkan ke rumah sakit Persahabatan di Rawamangun Jakarta, karena sakit. Saat sakit itu temannya berkata “Eh, Pak Hamka sedang membaca karangan Pak Hamka.”

Dunia sekarang telah memudahkan semuanya, termasuk dalam membaca dan menulis.***

Editor: Lucky M. Lukman

Sumber: Buku

Tags

Terkini

Terpopuler