“Artinya jika literasi dan numerasi tidak diperkuat, maka jebakan mutu pendidikan yang rendah ini tidak akan berubah secara signifikan,” jelasnya.
Ia menjelaskan, pada tahun 2013 Elizabeth Pisani, seorang peneliti berkebangsaan Amerika yang menetap di Inggris dan sangat banyak menulis tentang Indonesia, pernah menyampaikan hasil analisis bahwa skor PISA (Programme for International Student Assessment).
Hasilnya anak Indonesia dalam literasi matematik, sains, dan membaca bukan hanya sangat rendah tetapi juga menurun sejak 2009. Namun ternyata 95% anak Indonesia menyatakan merasa berbahagia di sekolah, jauh lebih tinggi ketimbang anak-anak di China (85%) dan Korea Selatan (60%).
Untuk merasa bahagia di sekolah, anak-anak Indonesia tidak dituntut untuk bekerja keras, gigih dalam belajar, dan berprestasi. Menurut Pisani (2013) anak-anak Indonesia tidak menyadari bahwa proses pendidikan yang mereka ikuti tengah melakukan proses pendangkalan intelektual yang dikhawatirkan akan menjadi “kerdil” (stunted) jika tidak ditangani dengan kebijakan yang relevan dan bermutu.
“Terhadap persoalan ini tentu saja timbul pertanyaan: Bagaimanakah dengan upaya yang dilakukan oleh Pemerintah? Bukankah dalam periode 2012-2018 telah diberlakukan kurikulum baru, yaitu Kurikulum 2013 dan berbagai kebijakan lainnya?,” Tanya Solehuddin.
Walaupun telah berupaya untuk memacu prestasi dalam literasi dan numerasi, kebijakan pemerintah tampaknya masih kurang sensitif terhadap masalah yang akan dipecahkan.
Contoh, penyusunan Kurikulum 2013 dan penerapan wajib belajar 12 tahun adalah dua kebijakan yang terlalu umum dan tidak memiliki daya ungkit dalam peningkatan kemampuan literasi matematik, sains dan membaca, sebagaimana diukur oleh PISA.
Pada tahun 2018, posisi Indonesia dalam PISA termasuk pada posisi “juru-kunci” dari 67 negara peserta atau lebih buruk dari skor rata-rata pada tahun 2009.
Baca Juga: Ingatkan Soal Integritas, Kajati Jabar Lantik Empat Kepala Kejaksaan Negeri