Pratama yang juga merupakan Ketua Lembaga Riset dan Keamanan Siber dan Komunikasi CISSReC itu, revisi itu penting terkait dengan adanya aturan kehilangan hak politik bagi seseorang yang mendapatkan pidana diatas 5 tahun.
Selain itu, selama ini UU ITE juga makin disorot karena sering terjadi saling lapor dari beberapa individu dan kelompok masyarakat.
Diketahui, sekarang ini beberapa partai politik mendesak agar rencana revisi itu segera direalisasikan terutama pada pasal-pasal yang dianggap pasal karet untuk menghindari keluhan-keluhan atau korban selanjutnya.
Beberapa kasus lain yang Ia contohkan misalnya pada kasus hoaks atau informasi bohong, yang kebanyakan ditangkap adalah korban dan terhasut padahal sendirinya tidak tahu konten yang Ia sebarkan misalnya.
Didalam sebuah konten hoaks, lanjut dia, memang pada pelaksanaannya ada tersangka yang menyebarkan. Namun sebenarnya bisa dibuktikan bahwa Ia sebenarnya adalah korban.
"Apalagi edukasi anti-hoax di tengah masyarakat hamit tidak ada," katanya.
Ia juga menegaskan bahwa penghasutan pasal atau beberapa pasal semisal 27 (3) dan pasal 28 berarti informasi hoaks bisa bebas beredar tanpa hukuman.
Ada pasal lain tentang pencemaran nama baik dan penghasutan di dalam KUHP yang dapat digunakan meskipun hukumannya tidak sama karena UU ITE dilakukan dalam ranah siber.***