Sejarawan LIPI: Komunisme Sudah Punah, Isu PKI Muncul karena Kepentingan Pemilu 2024

- 7 Juli 2020, 19:39 WIB
Warga yang tergabung dalam relawan bela negara melakukan longmarch  dengan membawa spanduk bertuliskan menolak keberadaan Partai Komunis Indonesia (PKI) di Indonesia khususnya di Kota Tasikmalaya, Senin 1 Juni 2020. (Kabar Priangan/Asep MS)
Warga yang tergabung dalam relawan bela negara melakukan longmarch dengan membawa spanduk bertuliskan menolak keberadaan Partai Komunis Indonesia (PKI) di Indonesia khususnya di Kota Tasikmalaya, Senin 1 Juni 2020. (Kabar Priangan/Asep MS) /

GALAMEDIA - Fenomena munculnya kembali isu Partai Komunis Indonesia (PKI) disebut diakibatkan adanya kepentingan politik menuju Pemilu 2024. Hal itu disampaikan Profesor Riset bidang Sejarah, Asvi Warman Adam.

Asvi menyampaikan pandangannya dalam diskusi virtual bertema "Ngeri-Ngeri Kebangkitan PKI" yang dipandu Bonnie Triyana, di Jakarta, Selasa, 7 Juli 2020.

Ia bahkan menengarai pihak yang melakukannya ingin menegakkan kembali kekuasaannya, persis sama dengan cara yang dulu dilakukan Orde Baru. Yakni menjadikan komunisme sebagai musuh bersama.

Baca Juga: Cari Pasangan untuk Sahrul Gunawan, NasDem Angkat Isu Pemberdayaan Janda

"Padahal, faktanya, Komunisme itu sudah punah dengan adanya TAP MPRS yang isinya membubarkan PKI dan melarang ajaran komunisme, sudah berlaku sejak 1966 serta bertahan hingga saat ini," terang sejarawan yang bekerja di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) itu.

Asvi mengingatkan, di era Orba, isu PKI dipertahankan untuk kepentingan Pemerintah dan rezim berkuasa, dengan menghancurkan orang yang bersikap kritis. Isu PKI juga digunakan ketika hendak mengambil tanah rakyat dengan mudah.

"Maka di Orba, setiap jelang 30 September, pasti ada temuan bendera dan kaos PKI. Itu jaman Orba. Sekarang, makin rutin karena ada kelompok kepentingan yang mau angkat isu komunisme itu," ungkapnya seperti dilaporkan wartawan PR, Muhammad Irfan.

Baca Juga: Penuh Inspirasi, Kisah Penyandang Down Syndrome yang Jadi Model Majalah Kelas Dunia

Menurut Asvi, gerakan mereka semakin menggema karena perkembangan teknologi informasi. Di sisi lain, kurangnya literasi masyarakat dalam menyaring bahan-bahan kampanye yang disebarkan juga turut mempengaruhi.

Informasi sangat mentah dan sumir itu sengaja disebarkan berulang dan terus menerus.

"Dan hal itu didukung pula oleh proyek Desoekarnoisasi yang dilaksanakan selama masa berkuasanya Orde Baru. Akumulasi semua hal itu juga yang terjadi dalam polemik pembahasan RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP)," jelasnya.

Asvi tak memungkiri jika stigmatisasi PKI masih menjadi alat politik yang digunakan sebagai senjata menuju pemilu 2024. Masalahnya, dalam mengangkat isu itu, stigma terhadap anak-anak dan keturunan keluarga terlibat PKI masih diteruskan.

Baca Juga: Jelang pengumuman PPDB SMA/SMK, Orangtua Jangan Panik dan Cemas

"Itu bagi pandangan saya seharusnya diluruskan. Kalau seseorang jadi PKI, anaknya tak menanggung dosa dia. Itu sama dengan jika seorang ayah melanggar hukum, anaknya kan tak harus diadili," terangnya.

"Kita tak menganut dosa turunan. Kalau ortunya PKI atau ormas kiri, anaknya tak otomatis menganut komunis. Apalagi ajaran itu tak bisa lagi dikembangkan di Indonesia," sambung Asvi.

Dia lalu memberikan contoh bagaimana tudingan tak berdasar itu merugikan DPR. Termasuk bagi partai seperti PDI Perjuangan yang memiliki anggota bernama Ribka Tjiptaning.

Karena menulis sebuah buku tentang pengalamannya sebagai anak dari orang tua yang dituduh PKI, sampai sekarang Ribka dianggap PKI. DPR juga dianggap mengakomodasi PKI, dan PDIP dituduh mempunyai 85 persen anggota bekas PKI.

Baca Juga: Tim Persib Berikan Doa Terbaik untuk Kesembuhan Puja Abdillah

Padahal, sebelum menjadi anggota DPR, untuk menjadi caleg saja, setiap orang termasuk Ribka harus ada screening dan surat bebas PKI dari Kepolisian. Sehingga seorang anggota PKI takkan mungkin lolos.

Maka jika masih ada yang menuduh PKI, seharusnya dia dipaksa membuktikan atau dilaporkan ke pengadilan. Asvi juga membandingkan kisah Ribka dengan Okky Asokawati, mantan anggota DPR dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang kini pindah ke Partai Nasdem.

Okky adalah anak dari AKBP Anwas Tanuamidjaja, orang kedua setelah Letkol Untung, dalam peristiwa G30S/PKI. Okky pun mengalami penderitaan yang sama dengan Ribka karena ayahnya ditahan belasan tahun.

Baca Juga: Jangan Bawa Anak ke Mal! Ingat, Kasus Covid-19 di Jawa Barat Masih Tinggi

Dengan topangan ibunya mengajar les piano, Okky berkarir sebagai peragawati, yang kerap dilakukannya sembari mengunjungi ayahnya di tahanan.

"Okky tak memilih ayahnya jadi komandan G30S. Tapi faktanya demikian. Okky sendiri bukan komunis dan bahkan solehah. Tak ada skandalnya sebagai bintang film, sebagai anggota DPR juga diteladani," tuturnya.

"Bukunya tak dipermasalahkan orang karena judulnya 'Jangan Menoleh Ke Belakang'. Beda sama Ribka. Padahal ayahnya orang kedua di G30S. Tapi ini bukan salah Okky sehingga ayahnya ditangkap dan ditahan," tandas Asvi.

Baca Juga: Kelompok Alumni Ini Dukung Din Syamsudin Sebagai MWA ITB

Bagi Asvi, sama seperti anak keluarga terkait pemberontakan DI/TII, PRRI/Permesta, dan RMS, seharusnya anak-anak keluarga yang dikaitkan PKI tak menjadi korban. Sebab kesalahan orang tua tak seharusnya menjadi tanggung jawab anak dan cucu.

"Saya ingin katakan bahwa partai dan DPR itu bersih dari PKI. Jangan ada tuduhan lagi. Tak ada partai yang PKI sekarang ini. Kalau ada buktinya langsung laporkan ke bareskrim. Tak ada di parlemen kita itu PKI. Bahaya laten PKI adalah halusinasi menurut saya," pungkasnya.***

Editor: Lucky M. Lukman


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x