Pengesahan Undang-undang Omnibus Law Jadi Hari Kejahatan Serius Terhadap Konstitusi

- 7 Oktober 2020, 16:07 WIB
Ilustrasi Omnibus Law
Ilustrasi Omnibus Law /




GALAMEDIA - Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menyatakan Undang-undang Omnibus Law yang disahkan DPR RI pada Senin 5 Oktober 2020 merupakan kejahatan serius terhadap konstitusi. Sebanyak 110 organisasi yang bergerak di pertanian rakyat di bawah KPA membuat pernyataan sikap.

Menurut mereka, ada sepuluh masalah fundamental pelanggaran konstitusi dalam Undang-undang Omnibus Law. KPA pun menyatakan 5 Oktober 2020 menjadi Hari Kejahatan Terhadap Konstitusi.

"Landasan hukum membangun sistem ekonomi-politik ultraneoliberal di Republik Indonesia telah paripurna. Meski publik luas menyatakan penolakannya, dalam tempo sesingkat-singkatnya hanya delapan bulan sejak presiden menyerahkan Draft RUU Cipta Kerja kepada DPR, akhirnya mayoritas fraksi menyepakati lahirnya UU Cipta Kerja," Sekretaris Jenderal KPA Dewi Kartika dalam keterangan persnya Rabu 6 Oktober 2020.

Baca Juga: Heboh Kekayaan Gatot Numantyo dari Kijang Super 1996 hingga Rumah Mewah Senilai Rp112 Miliar

Dia melanjutkan, gerbang kapitalisme agraria resmi dibuka lebih lebar oleh pemerintah setelah mengantongi izin formal dari DPR RI.

Kedaulatan agraria rakyat dan bangsa resmi dipangkas. Karena itu, 5 Oktober 2020 menjadi Hari Kejahatan Terhadap Konstitusi oleh DPR RI yang seharusnya menjadi penjaga dan penegak konstitusi.

Sebanyak 79 UU dan 186 pasal rampung dibahas. DPR RI menutup mata dan telinganya dengan tetap maraton secepat kilat merumuskan landasan hukum bagi kemudahan berbisnis badan-badan usaha melalui UU Omnibus Law.

Mulusnya proses di DPR tidaklah mengherankan karena mayoritas Anggota DPR adalah pengusaha, pemilik modal atau pejabat teras dari badan-badan usaha negara atau swasta.

Baca Juga: Tumben, Denny Siregar Tampar Keras Relawan Jokowi Bersatu

Berdasarkan naskah RUU Omnibus Law final yang diterima KPA per 5 Oktober 2020, dapat dilihat orientasi ideologi ekonomi-politik yang terkandung dalam UU tidak berubah.

Disahkannya UU Cipta Kerja memberikan kepastian hukum dan kemudahan proses kepada investor dan badan usaha raksasa sehingga lebih mudah merampas tanah rakyat, menghancurkan pertanian rakyat, merusak lingkungan dan memenjarakan masyarakat yang mempertahankan hak atas tanahnya.

Berikut 10 masalah fundamental Undang-undang Omnibus Law berbasis agraria:

1. Menabrak konstitusi

Pengabaian terhadap konstitusi, secara khusus Pasal 33 UUD 1945, Ayat (3) mengenai kewajiban Negara atas tanah dan kekayaan alam Bangsa dan Ayat (4) mengenai prinsip dan corak demokrasi ekonomi yang dianut Bangsa.

Lebih jauh lagi, banyak keputusan Mahkamah Konsitusi (MK) yang telah ditabrak UU Cipta Kerja, di antaranya Keputusan MK terhadap UU Penanaman Modal, UU Kehutanan, UU Perkebunan, UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, serta UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani.

Baca Juga: DPR RI Reses Usai Tetapkan UU Omnibus Law Cipta Kerja, 18 Anggota dan 40 Staf Terpapar Covid-19

2. Tidak ada landasan filosofis, ideologis, yuridis dan sosiologis sehingga watak UU sangat liberal di bidang pertanahan

Tidak ada UU yang dijadikan acuan untuk masalah pertanahan. Argumen “norma baru” menjadi cara agar RUU Pertanahan yang bermasalah pada September 2019 lalu dapat dicopy-paste atau diseludupkan ke dalam UU Cipta Kerja.

Inilah bentuk kolutif birokrat dalam proses legislasi. Tanpa landasan hukum yang diacu, maka UU Cipta Kerja bermaksud menggantikan prinsip-prinsip UUPA yang telah dilahirkan para pendiri bangsa dan panitia negara. Para perumus UU Cipta Kerja mengabaikan UUPA sebagai terjemahan langsung hukum agraria nasional dari Pasal 33 UUD 1945.

3. Asas dan cara-cara domein verklaring (Negaraisasi Tanah) dihidupkan kembali

Domein verklaring yang telah dihapus UUPA1960 dihidupkan lagi dengan cara menyelewengkan Hak Menguasai Dari Negara (HMN) atas tanah. Seolah pemerintah pemilik tanah, sehingga diberi kewenangan teramat luas melalui Hak Pengelolaan (HPL) atau Hak Atas Tanah Pemerintah.

Baca Juga: Heboh Gedung DPR RI Senayan Jakarta Dijual Rp 2.500 - 99 Ribu, Sekjen DPR RI Ngamuk-Ngamuk

HPL ini disusun sedemikian rupa menjadi powerful dan luas cakupannya. Satu, HPL dapat diberikan pengelolaannya kepada pihak ketiga. Lalu dari HPL dapat diterbitkan macam-macam hak, Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB) dan Hak Pakai (HP) kepada badan usaha dan pemilik pemodal.

Selain itu, tidak adanya pemberian batas waktu HGU dll, sehingga moral hazard kembali menyeruak di tengah dominasi HGU oleh badan usaha (BUMN/PTPN dan swasta). Empat, perpanjangan dan pembaruan hak dapat dilakukan sekaligus. Inilah bentuk kejahatan terhadap Konstitusi.

4. Bank tanah melayani pemilik modal, sarat monopoli dan spekulasi tanah

Untuk menampung, mengelola dan melakukan transaksi tanah-tanah hasil klaim sepihak negara (domein verklaring/negaraisasi tanah) dibentuk Bank Tanah (BT). Lembaga BT diberi kewenangan mengelola HPL.

Halaman:

Editor: Dicky Aditya


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x