Pengesahan Undang-undang Omnibus Law Jadi Hari Kejahatan Serius Terhadap Konstitusi

- 7 Oktober 2020, 16:07 WIB
Ilustrasi Omnibus Law
Ilustrasi Omnibus Law /

UU Cipta Kerja juga memasukan larangan bagi petani dan masyarakat adat untuk berladang dengan cara membakar. Hal ini menunjukkan sikap anti petani kecil dengan budaya agrarisnya. Juga mengancam kedaulatan masyarakat adat dan kearifan lokalnya di atas wilayah adatnya.

8. Diskriminasi hak petani akibat klaim hutan negara

UU ini memberikan keistimewaan untuk percepatan proyek strategis nasional (PSN), yang sebelumnya sering terhambat karena ketentuan minimal tutupan hutan 30 persen. Berbanding terbalik untuk kepentingan RA, dimana pemerintah selalu menggunakan dasar 30 persen tersebut.

Petani dan masyarakat adat lagi-lagi hanya diberikan solusi penyelesaian konflik melalui izin akses perhutanan sosial. Klaim DPR tentang UU menjadi jalan penyelesaian konflik sama sekali tak terbukti. Sebab hak petani dan kampung-kampung dalam klaim PERHUTANI dan HTI tetap diabaikan.

9. Penghilangan hak konstitusional dan kedaulatan petani atas benih lokal

UU Cipta Kerja melarang petani untuk memuliakan benihnya sendiri. Padahal MK telah memutuskan bahwa petani kecil berhak untuk memuliakan benihnya melalui Putusan MK No.138/PUU-XIII/2015.

10. Diskriminasi petani dan nelayan sebagai produsen pangan negara yang utama, dan kebijakan kontraproduktif terhadap janji kedaulatan pangan

UU Cipta Kerja merubah UU Pangan dengan cara menghapus frasa petani, nelayan dan pembudidaya ikan. Digantikan dengan frasa pelaku usaha pangan.

Baca Juga: Budayawan Indonesia yang Tinggal Di Belanda Kecam Pelecehan Situs Karangkamulyan

Artinya, UU Cipta Kerja adalah kemunduran jauh upaya penghormatan dan perlindungan petani dan nelayan. Orientasi bisnis pertanian skala besar ini rentan mendiskriminasi sentra-sentra produksi pertanian dan pangan dari petani dan nelayan sebagai produsen pangan negara yang utama.

Oleh karena itu, atas masalah-masalah fundamental di atas, maka KPA menolak Undang-undang Omnibus Law. KPA mengatakan UU ini bukan semata masalah klaster ketenagakerjaa atau sesederhana janji job creation seperti yang diangung-angungkan dan dipromosikan DPR dan pemerintah.

Sejatinya kaum tani, masyarakat agraris di pedesaan bukan dijadikan obyek eksploitasi pembangunan bercorak kapitalistik, hanya sebagai sumber cadangan pekerja bagi para pemilik modal.

Undang-undang ini menunjukkan pergeseran ideologi bangsa, pergeseran politik hukum agraria nasional. Sebab banyak materi UU yang bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila, UUD 1945 dan UUPA 1960.

Ada persoalan ekonomi politik Indonesia yang dirancang begitu liberal, dari hulu ke hilir pemilik modal lah yang kelak menyetir orientasi pembangunan ke depan.

Akibatnya banyak rakyat akan kehilangan sumber mata pencahariannya. Dipreteli hak-hak dasarnya akibat liberalisasi sumber-sumber agraria.

Meski demikian, salah satu langkah konstitusional yang akan ditempuh KPA adalah mengajukan judicial review atas UU Cipta Kerja kepada Mahkamah Konstitusi.

KPA pun mengajak KPA di 23 provinsi, menjaga dan perkuat wilayah rakyat dari ancaman kapitalisme agraria. Perkuat praktik-praktik Reforma Agraria atas inisiatif rakyat dari bawah agar makin kokoh menghadapi ancaman perampasan tanah.

Mengajak seluruh elemen gerakan sosial untuk mendorong persatuan gerakan nasional menolak UU Cipta Kerja.***

Halaman:

Editor: Dicky Aditya


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah