Pandemi dan Pembangkangan Sipil Dalam Perspektif Pemikiran F.W. Nietzsche dan Sosialisme

- 20 Juni 2021, 08:05 WIB
Muhammad Naufal Fadhil
Muhammad Naufal Fadhil /dok. Muhammad Naufal Fadhil/



GALAMEDIA - Pada awal tahun 1893, Mahatma Gandhi melakukan perjalanan ke Afrika Selatan, untuk melakukan kerja praktik hukum dalam waktu satu tahun. Ia memilih untuk tinggal di Natal, Brasil.

Gandhi menjadi bahan olok-olokan rasisme dan hukum Afrika Selatan yang membatasi hak-hak buruh India. Salah satu kejadian yang menunjukkan perlakuan tidak adil kepada dirinya adalah dalam sebuah insiden di kereta api.

Pada saat itu Gandhi dilempar dari gerbong kereta api karena ia menolak untuk mematuhi pemisahan antara ras atau segregasi rasial. Sejak saat itu, Gandhi memutuskan untuk melawan ketidakadilan dan membela hak-haknya sebagai orang India, serta manusia.

Juga pada tahun 1932, tokoh revolusi India yang dikenal melawan ‘penindasan tanpa kekerasan’ itu, melakukan aksi yang sangat unik, yakni mogok makan. Ia puasa hingga 21 hari demi melawan penindasan Inggris, yang kala itu menjajah India.

Baca Juga: Spanyol vs Polandia, Lewandowski Ungkap Kunci Sukses Tahan Imbang Tim Matador

Gandhi yang merupakan mantan pengacara, menegaskan bahwa aksinya itu, lebih kepada aksi spiritual 'pembersihan diri', di samping protes politik terhadap penjajah.

Aksi Gandhi ini dilakukan untuk menolak sejumlah kebijakan Pemerintahan Kolonial Inggris yang dianggap semakin membuat rakyat India sengsara. Juga aturan pemilihan umum yang sangat jauh dari demokratis (Basmalah, 2016).

Kisah lain, Khomeini, merupakan seorang ulama dan pemimpin besar Revolusi Islam Iran. Peran Khomeini adalah perjuangan yang tidak pernah berhenti untuk menumbangkan Shah Reza Pahlevi.

Jatuhnya sistem monarki ke sistem Republik Islam Iran, menjadikan Khomeini sebagai aktor yang paling berpengaruh terhadap meletusnya revolusi Islam Iran.

Pemikiran-pemikiran Khomeini sangat tajam. Semangatnya dalam menentang rezim Shah Reza Pahlevi semakin membara, serta memercik sebuah pembangkangan. Misalnya, ia melarang penyelenggaraan hari peringatan 15 Sya’ban (hari lahir Imam Mahdi), sebagai bentuk protes terhadap Shah Reza Pahlevi, yang dinilai sewenang-wenang terhadap rakyat dan menghamburkan uang negara.

Baca Juga: Sinopsis Buku Harian Seorang Istri 20 Juni 2021: Dina Pergi, Dewa-Nana Kembali Tanpa Gangguan

Kemudian, aksinya itu berkembang menjadi sebuah aksi massal,  yang dilakukan oleh para pegawai negeri dan buruh, hingga berhasil melumpuhkan perekonomian dan ancaman kebangkrutan.

Pemogokan juga merupakan senjata yang ampuh untuk mendesak Shah Reza Pahlevi untuk mundur dari kursi kekuasaan.

Melihat dua kisah tersebut mengenai bagaimana kelompok masyarakat menentang penindasan otoritas penguasa dengan cara-cara yang terkesan mengundang perhatian publik atau bahkan dengan menghentikan laju perekonomian.

Pemerintahan di berbagai negara saat ini, dinilai kalang kabut dalam menghadapi pandemi ini. Sejak awal penyebarannya di Tiongkok, pemerintah indonesia terkesan menyepelekan, bahkan mengabaikan.

Sudah menjadi rahasia umum, bahwa hal tersebut terlihat dari beberapa statement pejabat negara yang ia menganggap bahwa pandemi Covid-19 ini tidak akan masuk ke Indonesia (Rahmayunita, 2020).

Baca Juga: Sinopsis Ikatan Cinta 20 Juni 2021: Elsa Minta Maaf hingga Bersujud, Andin Tetap Memproses Hukum

Saat ada kasus pertama, pemerintah terkesan menutupi seolah tidak terjadi apa-apa. Padahal, masyarakat sudah sangat cemas dengan keadaan itu. Kemudian, pemerintah terlambat melakukan penanganan, sehingga lonjakan kasus pun tak dapat terhindarkan.

Terlebih, angka kematian yang sangat tinggi membuat masyarakat semakin khawatir, apalagi disaat negara-negara lain sudah mulai pulih dan dapat melawati bencana pandemi. Indonesia, justru memperlihatkan yang sebaliknya.

Di tengah pandemi ini, justru pemerintah mengesahkan berbagai aturan yang menuai kontroversi, juga menambah beban masyarakat. Seperti contoh Perppu Nomer 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara untuk Penanganan Covid-19; bahwa terdapat kejanggalan di Pasal 27 ayat (2) Perpu 1/2020.

Kebijakan ini menyebutkan bahwa lembaga atau pejabat terkait penanganan Covid-19 ini tidak dapat di tuntut secara perdata maupun pidana, tentu ini merupakan suatu imunitas bagi pejabat-pejabat terkait, agar tidak dapat diproses hukum dalam melaksanakan tugasnya terkait dengan penanganan pandemi Covid-19 (Sibuea, 2020).

Terlebih lagi, ditengah pandemi saat ini sistem bantuan sosial yang banyak bermasalah sehingga tidak tepat sasaran, penanganan permasalahan oleh kementrian yang tidak ada hubungannya dengan isu terkait seperti Menteri Pertahanan diperintahkan mengurusi food estate, Menko Kemaritiman, Investasi dan Menko Perekonomian mengurusi perihal kesehatan dan tanggungjawab lainnya yang tidak memiliki keterkaitan terhadap bidang terkait.

Baca Juga: Griezmann Selamatkan Muka Prancis saat Hadapi Hungaria di Grup F Piala Eropa 2020

Parahnya tidak hanya itu, pemerintah tetap mengesahkan UU Minerba yang menurut para ahli terkesan menguntungkan oligarki sekitar penguasa dan cenderung akan merusak lingkungan dan puncaknya adalah UU Cipta Kerja yang kontroversial tetap disahkan dengan berbagai macam revisi.

Akibatnya, menimbulkan aksi protes besar-besaran. Inilah alasan yang mendasari Pembangkangan Sipil dapat terjadi, ketika pemerintah gagal memfasilitasi, gagal mewujudkan harapan-harapan luhur masyarakat.

Komunikasi publik yang kurang baik dan kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat akan melahirkan pembangkangan sipil.

Perlawanan sipil merupakan sebuah cara bagi orang-orang biasa atau masyarakat umum dalam memperjuangkan hak, kebebasan, dan keadilan mereka, tanpa mengunakan kekerasan. Orang-orang yang ikut serta dalam perlawanan sipil mengunakan taktik yang berbeda-beda, seperti: pemogokan, boikot, demonstrasi massa, dan aksi-aksi lainnya, untuk mendorong perubahan sosial, politik, dan ekonomi yang lebih luas.

Di seluruh dunia, perlawanan sipil disebut dengan nama yang berbeda-beda—perlawanan tanpa kekerasan, tindakan langsung, kekuatan rakyat, pembangkangan politik, dan mobilisasi warga —namun terlepas dari istilah mana yang digunakan, faktor-faktor penggerak dasar terjadinya perlawanan rakyat, pada intinya tetap sama. (CONFLICT, 2011)

Baca Juga: Sebut Qodari Buat Lelucon Tak Lucu, Herzaky Mahendra Putra: Jangan Malah Menghina Rakyat!

Ketika kita melihat kondisi pemerintahan saat ini banyak melahirkan produk-produk hukum yang kontroversial, maka jika kita memakai jargon-nya Nietzsche yaitu Ja-Sagen maka  yang pertama kali kita harus lakukan adalah meng-iyakan hal tersebut, menerima bahwa memang produk itu ada, jangan tutup mata seolah tidak terjadi apa-apa.

Setelah kita menerima “meng-iyakan”, barulah kita konstitusi/konstruksi sesuai dengan apa yang menurut kita baik dan benar.

Sebagai contoh, disaat kita melihat problem omnibuslaw, kita harus menerima terlebih dahulu sebagai sesuatu yang eksis, kita pelajari dan telaah mendalam setelah kita menemukan poin-poin yang berpotensi menimbulkan masalah barulah kita melayangkan protes dengan berbagai macam cara salah satu-nya adalah demonstrasi sebagai bentuk perlawanan.

Sudah seyogya-nya kita tidak mengambil sikap fatalistik ketika ditindas, dizholimi dan disengsarakan oleh para penguasa terlebih kita hidup di negara demokrasi yang berarti tidak ada yang boleh fix dan penuh didalam kekuasaan semua harus melewati check and balance dari rakyat, setiap keputusan yang dilahirkan dari rahim kekuasaan harus selalu ada didalam ruang perdebatan.

Konflik pandemi saat ini harus diselesaikan dengan pendekatan kolektif, terkoordinasi dan komprehensif yang melibatkan seluruh elemen untuk mampu berkolaborasi secara nasional yang kuat dan efisien, egosentris setiap unsur pemimpin dalam hirarki hendaknya dihilangkan demi bergerak bersama untuk tujuan yang sama.

Baca Juga: Kualifikasi MotoGP Jerman 2021: Sejumlah Pembalap Unggulan Berjatuhan, Johann Zarco Raih Tercepat

Otoritas perlu mempromosikan kemakmuran kolektif masyarakat secara lebih adil, memprioritaskan kesejahteraan dibanding konsumerisme berkelanjutan yang digerakkan individualis dalam industrialisasi.

Keadilan sosial dan kesejahteraan sosial sebagai kunci penyelesaian konflik tanpa adanya eksploitasi manusia oleh manusia, negara, kapitalisme dan perbudakan. Karena tidak ada definisi sosialisme yang valid bagi kita selain menghapuskan eksploitasi manusia atas manusia.

Sedangkan tidak bagi kapitalisme, kapitalisme ditengah pandemi lahir bersama oligarki dalam penguasaan pasar bebas yang akan cenderung mengeksploitasi manusia dengan nyawa manusia untuk menghasilkan semakin banyak keuntungan melalui investasi hak paten vaksin dan distribusinya oleh karenanya kapitalisme hanya menghalangi laju perkembangan ilmiah dengan dominasi kekuatan pasar.

Sosialisme mendorong keterbukaan informasi dan distribusi informasi yang berbasis ilmiah secara luas disalurkan melalui media yang keputusannya dilibatkan dalam berbagai struktur rakyat pekerja, gerakan buruh, masyrakat luas dan ilmuan yang akan dipandu oleh ahli medis.

Baca Juga: Bandingkan dengan Presiden Filipina Soal Masa Jabatan, ProDem: Presiden RI Mestinya Minta Digantung di Monas

Dengan mendorong kemajuan ilmiah dan perkembangannya sosialisme akan cenderung berfokus pada manajemen penanganan pandemi dibanding dengan memperhatikan minat pasar.

Dengan sistem yang efisien dan efektif yang menghilangkan hak ekslusif pengembangan ilmiah, semua ilmuan saling bekerjasama dalam menghasilkan pengetahuan dan penemuan yang baru dan dapat diakses oleh siapapun bukan dimiliki oleh perseorangan seperti perusahaan kapitalis.

Sosialisme menjamin akses kesehatan untuk semua orang dengan fasilitas yang baik untuk mencukupi kebutuhan manusia, dimana produksi diatur dibawah ekonomi terencana di bawah kendali pekerja akan jauh lebih baik untuk mengalokasikan sumber daya dan menempatkan energi kreatif dan ilmiah untuk tugas meminimalisir dampak dari pandemi tersebut.

Dengan sosialisme, perkembangan sains akan melompat dan dimasa depan jika terjadi pandemi baru sains akan bisa mengalahkan dengan cepat tanpa perlu mengorbankan manusia secara masif.

Sosialisme akan cenderung menghasilkan kebjakan yang mempertimbangkan dampak terhadap lingkungan dengan memperhatikan perkembangan industrialisasi yang baik untuk manusia maupun terhadap alam dalam menjaga ekosistem sedangkan kapitalisme cenderung akan menjadi ancaman bagi lingkungan dengan kebijakan-kebijakan yang menghancurkan lingkungan dan tidak bertindak secara ilmiah.

Baca Juga: Sorot Kebijakan Libur Tahun Baru Islam dan Maulid, Ketua MUI: Selain Otak-atik Keagamaan, Juga Kerumunan Pasar

Tentunya, epistemological belief atau kepastian keyakinan terhadap suatu pengetahuan tidak semestinya mutlak, sebab perkembangannya seiring dengan perubahan subjek pengetahuan itu sehingga rakyat harus paham betul bagaiamana memahami konsep kebaikan dalam bermasyarakat.

Dalam pengambilan kebijakan rakyat perlu memahami bahwa peran ideologi terhadap sistem ekonomi dalam pengambilan keputusan sangat berperan penting terhadap keadilan sosial serta kesejahteraan rakyat.***

Pengirim:
Muhammad Naufal Fadhil
Wasekum PTKP HMI Komisariat Manajemen Telkom
[email protected]

Seluruh materi dalam naskah ini merupakan tanggung jawab pengirim. Gugatan, somasi, atau keberatan ditujukan kepada pengirim

Editor: Brilliant Awal


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x