Bukan Aib, Penyintas Covid-19 Butuh Dukungan Keluarga dan Masyarakat

- 29 Desember 2020, 20:19 WIB
Ilustrasi Covid-19.
Ilustrasi Covid-19. /cottonbro/pexels.com/cottonbro



GALAMEDIA - Penyintas Covid-19 memerlukan pengelolaan stres dalam diri yang baik serta dukungan orang terdekat agar mampu sembuh dari penyakit yang dideritanya. Hal itu disampaikan Dosen Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran Aulia Iskandarsyah, M.Psi., M.Sc., PhD.

Ia mengatakan, secara psikologis, ada beberapa fase reaksi seseorang saat dinyatakan positif Covid-19 berdasarkan diagnosis swab PCR.

Fase pertama, kata Aulia, biasanya adalah penyangkalan bahwa seseorang positif Covid-19. Penyangkalan tersebut selanjutnya melahirkan respons diri berupa marah atau sedih.

Baca Juga: Satgas Penanganan Covid-19 Jabar Perkuat RS Rujukan dan Pusat Isolasi Non Rumah Sakit

Sikap ini merupakan fase di mana kondisi mental seseorang mulai terganggu. Penurunan mental akan melahirkan sikap sedih, stres, hingga menutup diri. Fase terakhir adalah ketika seseorang mulai menerima bahwa ia terkena Covid-19.

Namun, Psikolog Kesehatan ini menjelaskan, bukan suatu aib jika seseorang terkena Covid-19. Wabah pandemi ini akan menyasar seluruh orang tanpa terkecuali.

Karena itu, Aulia menyarankan seseorang yang positif Covid-19 berdasarkan hasil swab PCR untuk membuka diri dengan menerima keadaan. Adaptasi tubuh yang cepat akan lebih mudah menentukan rencana selanjutnya.

Baca Juga: Menpan RB Tjahjo Kumolo Pangkas 38.398 Jabatan Eselon Selama 2020

Konsultasi dengan Satgas atau tim medis harus segera dilakukan untuk menentukan upaya penanganan terbaik. Jika penyintas tidak mengalami gejala, ia bisa melakukan isolasi mandiri dengan pemantauan yang ketat.

“Mau gak mau kita harus patuh dengan protokol isolasi mandiri, jika ada kendala silakan konsultasikan dengan satgas,” tuturnya seperti dirilis laman resmi Unpad, Selasa, 29 Desember 2020.

Aulia menjelaskan, positif Covid-19 harus dibarengi dengan pikiran positif. Yakinkan bahwa proses isolasi ini hanya sementara. Menjadi penyintas Covid-19 bukan berarti suatu aib.

Baca Juga: The Adventure of Kabayan: Baju Hikmat (53)

Ada yang beranggapan bahwa isolasi mandiri sama halnya dengan dipenjara. Padahal, isolasi hanya membatasi aktivitas fisik penyintas dengan dunia luar. Penyintas Covid-19 bisa melakukan berbagai aktivitas rutin di dalam ruang isolasi.

“Isolasi itu bukan berarti harus berbaring terus. Dia bisa bangun, olahraga, mandi, dan bekerja. Hanya posisinya dilakukan di tempat isolasi,” jelasnya.

Selanjutnya, penyintas membutuhkan dukungan dari orang terdekat, baik morel maupun materiel. Keluarga, kerabat/kolega, hingga masyarakat sekitar harus mendukung perjuangan penyintas Covid-19.

Baca Juga: Jarang Dilirik, Bengkoang Juga Dapat Meningkatkan Daya Tahan Tubuh Anak, Ini Khasiat Lainnya

Aulia menekankan bahwa masyarakat jangan beranggapan bahwa penyintas Covid-19 adalah orang yang mesti dijauhi. Stigma ini nyatanya masih melekat di sebagian masyarakat Indonesia.

Padahal, seharusnya yang wajib dijauhi adalah penyakitnya. Bukan orangnya.

“Jika orang itu di-swab lagi terus hasilnya negatif, kita harus menerimanya kembali,” kata Aulia.***

Banyak penelitian menunjukkan bahwa stres ada kaitannya dengan menurunnya imun tubuh. Orang dengan stres berat cenderung memiliki imun tubuh yang rendah.

Penyintas juga wajib menghindari stres saat tengah berjuang untuk sembuh saat Covid-19. Pikiran positif diupayakan terus dibangun oleh penyintas.

Aulia menjelaskan, kekuatan diri jika digabungkan dengan dukungan sosial akan mampu melakukan pengelolaan stres yang lebih baik. “Kalau berjuan sendiri, dia (penyintas) akan berat. Kalau pikirannya positif, lingkungannya juga positif, dia akan menjalani isolasinya dengan baik,” pesan Aulia.

Editor: Dadang Setiawan


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x