Ini Tiga Kategori Jenazah yang Harus Dimakamkan Sesuai Prosedur Covid-19

- 22 Juni 2021, 07:15 WIB
Pakar Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Padjadjaran (Unpad), Irvan Afriandi,
Pakar Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Padjadjaran (Unpad), Irvan Afriandi, /Hj. Ati Suprihatin/


 
GALAMEDIA - Sampai saat ini masih banyak masyarakat yang belum memahami proses tata laksana pemulasaraan jenazah terkait Covid-19.

Tidak hanya para tenaga kesehatan ataupun petugas di lapangan, seluruh lapisan masyarakat harus mengetahui tata laksana tersebut sehingga proses tata laksana pemulasaraan jenazah bisa berjalan dengan aman

Demikian disampaikan pakar Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Padjadjaran (Unpad), Irvan Afriandi, Selasa 22 Juni 2021.

Baca Juga: Sultan HB X Ungkit Soal Lockdown: Saya Enggak Kuat Membiayai Rakyat se-Yogyakarta

"Prosedur pemulasaraan terkait kasus Covid-19 ini guna melindungi dan mencegah penularan baru kepada keluarga dan masyarakat yang bersumber dari kegiatan pemulasaraan," katanya.

Irvan menyebutkan, ada tiga kategori status terkait Covid-19 yang apabila meninggal dunia harus dilakukan pemulasaraan jenazah sesuai dengan pedoman dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes).

Pertama, orang yang meninggal terkonfirmasi di rumah sakit. Kedua, orang yang meninggal dengan kategori probable di rumah sakit. Ketiga, adalah kontak erat yang ketika datang ke IGD ternyata sudah meninggal.

Baca Juga: Jangan Lagi Memakai Masker Kain! Ternyata Begini Risikonya

Irvan memaparkan, untuk terkait kasus konfirmasi sudah sangat jelas bahwa ketika meninggal dunia maka pemulasaraan jenazahnya wajib dengan tatalaksana prosedur penanganan Covid-19. Baik itu terkonfirmasi tanpa gejala dan terlebih ketika sebelum meninggal terdeteksi memiliki gejala.

Untuk kategori probable, kasus ini terjadi kepada pasien yang secara klinis menunjukan gejala sehingga diduga terpapar Covid-19. Hanya saja, kondisinya tidak memungkinkan untuk dilakukan pengambilan sampel dalam waktu cepat mengingat kondisi gejalanya yang sangat berat.

“Tapi dari tanda klinis kuat diduga mengarah covid, tapi tidak sempat atau tidak bisa dilakukan pemeriksaan laboratorium. Gambaran klinisnya sangat mirip dengan Covid-19. Kemudian setelah dirontgen sangat mirip,” jelas Lektor Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran Unpad ini.

Baca Juga: Sri Mulyani Bilang Ekonomi Batal Tumbuh 8 Persen Gara-gara Ledakan Corona, Demokrat: Pembelaan Model Apa?

Kondisi kasus probable inilah yang dinilai Irvan menjadi celah terjadinya kesalahpahaman mengenai penanganan pasien yang meninggal sebelum keluar hasil pemeriksaan PCR di laboratorium. Sebab pasien sudah lebih dulu menunjukan gejala klinis cukup berat yang mengarah pada dugaan terpapar Covid-19.

Sehingga, sambung Irvan, tenaga kesehatan tidak bisa mengambil risiko bahwa jenazah tersebut diabaikan dari dugaan paparan.  Maka untuk pemulasaraan jenazahnya pun harus dalam waktu terbatas dan menggunakan tata laksana sesuai prosedur Covid-19, sekalipun hasil pemeriksaan baru keluar beberapa hari setelah dinyatakan meninggal dunia.

“Karena banyak gejala yang mirip, orang pneumonia berat, sesak karena payah jantung bisa juga, apalagi kita tahu orang dengan komorbid dengan penyakit jantung, asma atau gejala lain mirip Covid-19," jelasnya.

Baca Juga: Gus Umar Ditawari Jabatan Staf Khusus Menteri, Ini Respons Politisi PDIP

"Jadi faktor resiko sesorang terkena Covid itu berat, makanya dokter tidak ambil risiko dengan sangat hati-hati. Itu sebenarnya baik buat dokter, baik buat pasien dan keluarganya,” tambahnya.

Irvan mengungkapkan, setiap kasus yang terjadi tidak bisa disamaratakan, karena setiap pasien harus ditelisik lebih jauh mengenai riwayatnnya. Terlebih, ketika awal-awal pandemi Covid-19 terjadi sarana pemeriksaaan laboratorium masih belum memadai, sehingga dokter tidak ingin gegabah menyatakan status Covid-19.

“Dasar pemeriksaan itu secara klinis dan laboratorium. Klinis saja hanya bisa menyatakan suspek atau probable. Baru kita yakin definitif seseorang Covid-19 kalau terkonfirmasi kategorinya hasil pemeriksaan PCR,” ujarnya.

Baca Juga: Mulai Besok PPKM Mikro se-Indonesia Diperketat, Kegiatan di Tempat Ibadah Zona Merah Dibatasi

Dalam praktek kedokteran, pemeriksaan laboratorium bertujuan untuk menegakkan diagnosis ataupun untuk menyingkirkan diagnosis atau differential diagnosis.

"Pada situasi di mana hasil PCR negatif yang diketahui setelah pasien meninggal. Hal tersebut berpotensi terjadinya kesalahpahaman keluarga dan masyarakat terhadap prosedur pelayanan yang dilakukan oleh dokter dan rumah sakit,” ungkapnya.

Untuk kategori kontak erat, Irvan menjelaskan, yakni terjadi pada orang yang berinteraksi bersama orang yang terkonfirmasi dengan jarak sangat dekat dan sekurang-kurangnya terjadi dalam kurun waktu 15 menit. Kemudian, alat perlindungan diri seperti masker tidak digunakan secara benar atau dari bahan yang kurang mumpuni maka memiliki risiko terpapar.

Baca Juga: Makin Ganas! Kasus Covid-19 RI Melonjak, Per 21 Juni 2021 Bertambah 14.536 Orang, Kematian 294 Jiwa

“Ada orang yang dibawa ke rumah sakit saat datang ke IGD ternyata sudah dalam kondisi ‘death on arrival’ atau meninggal saat dirujuk atau evakuasi ke RS, bisa jadi di jalan atau di rumah," katanya.

Apabila ternyata orang yang bersangkutan tersebut terkategori sebagai kontak erat, maka rumah sakit menerapkan protokol pemulasaraan Covid-19 untuk memitigasi potensi penularan kepada keluarga dan masyarakat.

Oleh karenanya, sambung Irvan, dapat terjadi situasi yang mana di satu sisi keluarga mengetahui bahwa jenazah tidak dinyatakan sebagai penderita Covid-19 karena memang belum diperiksa PCR. Namun di sisi yang lain, pihak rumah sakit memperlakukan prosedur pemulasaraan Covid-19 yang ketat.

Baca Juga: Banjir Mengepung Kota Bandung Usai Hujan Deras Mengguyur

“Kalau yakin dia meninggal negatif, itu tidak perlu menggunakan tatalaksana pemulasaraan Covid-19. Cuma itu negatifnya kapan, karena ada orang sakit berat ketika pemeriksaan pertama negatif, tapi kalau ternyata kontak erat itu harus dipulasara sesuai tatalaksana medis,” imbuhnya.

Untuk itu, Irvan mengimbau, apabila terjadi keragu-raguan, maka sebaiknya masyarakat memercayakan kepada ahlinya. Percayakan kepada para tenaga kesehatan yang bekerja di bawah sumpah dan dituntut melakukan pekerjaannya sesuai dengan prosedur.

Paratenaga kesehatan akan selalu bekerja secara profesional. Sehingga, setiap keputusan yang diambil sangat mempertimbangkan masalah keselamatan dan kesehatan masyarakat yang masih hidup agar tidak terpapar.

Baca Juga: Soroti Covid-19 di Indonesia, Susi Pudjiastuti: Tak Pakai Masker, Anda Bisa Mati!

“Masyarakat perlu ditingkatkan kesadarannya tentang mitigasi risiko penularan akibat adanya kematian, dibandingkan kita menganggap enteng atau mengabaikan kemungkinan risiko. Maka jika ada pemulasaraan dengan prosedur Covid-19, masyarakat percaya kepada tenaga kesehatan karena itu toh mencegah untuk masyarakat tertular,” katanya.

Irvan menekankan, saat ini langkah penanganan dari masyarakat sebaiknya berkonsentrasi pada perilaku pencegahan 5M dan mendukung pemerintah melaksanakan testing, tracing, dan treatment.***

Editor: Dadang Setiawan


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x