Wow.. Untuk Dibuat Film, Novel Dilan Pernah Ditawar Rp3 Miliar

- 13 Oktober 2020, 17:28 WIB
/

GALAMEDIA - Bank Indonesia (BI) Institute melalui perpustakaan KPBI yang berkolaborasi dengan KPwBI Provinsi Jawa Barat mengadakan diskusi dengan tajuk Bincang Literasi Asah Kreasi untuk Menumbuhkan Kreativitas di Masa Pandemi, mengundang penulis novel serial Dilan yakni Pidi Baiq melalui Zoom Meetings, Selasa, 13 Oktober 2020.

Kegiatan yang diadakan live di Kebun The Panas Dalam, Lembang ini dimoderatori oleh Yudi Rofen dan dihadiri oleh beberapa anggota GenBI (Generasi Baru Indonesia) secara langsung.

Dalam wawancaranya, Pidi menceritakan awal mula ia menjadi penulis. Ia mengaku, dirinya menekuni profesi tersebut karena mengalir begitu saja karena ia menganggap bahwa menulis bukan merupakan sebuah desakan atau tuntutan bagi dirinya sendiri.

Baca Juga: Polisi Amankan Sejumlah Peserta Demo Tolak Omnibus Law Cipta Kerja di Dekat Istana

Diawali saat ia kecil, orang tuanya memiliki banyak buku karya penulis terkenal seperti W.S Rendra, Sutan Alisyahbana, dan lain-lain menjadikan ia gemar membaca buku.

Berangkat dari kebiasan tersebut, karena di rumahnya terdapat mesin tik, ia berpikir untuk meniru para penulis buku yang karyanya ia baca untuk memiliki sebuah karya lewat tulisan. Namun ia mengaku bahwa dirinya bingung harus menulis apa.

"Karena bingung mau nulis apa, itu saat SD, yaudah saya ngabsen barang-barang yang ada di rumah. Kayak tirai, titik. Sofa, titik. Begitu aja. Nah dari situ mulai jadi satu kalimat kayak sofa di ruang tamu, begitu," katanya diselingi bercanda.

Baca Juga: Gas Air Mata Terpaksa Ditembakan Untuk Bubarkan Pendemo UU Cipta Kerja yang Anarkis di Bunderan HI

Menginjak SMP dan SMA, Pidi mengaku tidak terlalu sering lagi menulis. Termasuk saat dirinya menjadi salah satu mahasiswa di ITB. Namun, menurutnya, dirinya masih sempat menulis beberapa puisi yang juga masih berkaitan dengan barang-barang. Karena kata Pidi, saat itu ia menulis puisi hanya untuk eksistensi.

“Waktu akan buat kita lupa sama apa yang udah dilakukan, tapi apa yang ditulis, akan bikin kita ingat,” kata dia.

Ia bercerita, awal mula buku perdananya yakni Drunken Monster dapat terbit adalah diawali dengan ia yang berprofesi sebagai ilustrator di sebuah penerbit.

Baca Juga: Ormas Islam Demo Dekat Istana Dibubarkan, Massa Pengunjuk Rasa Merangsek Jebol Kawat Berduri

“Kalau jadi ilustrator kan harus baca naskah yang mau diterbitkan, ya. Lalu saya agak merasa aneh karena naskah-naskahnya tidak sama seperti buku-buku yang saya baca,” katanya.

Ia juga bergumam “Kok tulisannya gini?” lanjutnya.

Lalu ia mengajukan naskah buku perdananya untuk diterbitkan, tapi dengan catatan tidak ingin merubah redaksi bahkan kalimat-kalimat yang ada dalam naskahnya.

Baca Juga: Kampanye Calon Kepala Daerah di Kabipaten Bandung Masih Libatkan Anak-anak

“Sempat di edit sama editor. Tapi jadi nggak kayak tulisan saya. Jadi saya mintanya saya aja yang edit, biar nggak kayak naskah-naskah orang yang saya baca. Kalau akhirnya sama ya ngapain,” tambahnya lagi.

Ia juga mengaku bahwa tulisannya memang tidak terlalu sesuai dengan ejaan yang disempurnakan (EYD). Tapi menurutnya, mungkin tulisannya tidak indah karena tidak terlalu sesuai dengan EYD, tapi punya nilai dalam isinya.

“Sempat juga dapat cacian tapi ah nggak saya hiraukan,” katanya sambil tertawa.

Baca Juga: Denny Siregar: Jokowi Kalau Tangan Besinya Keluar, yang Dulu Planga Plongo Sekarang Terkaget-kaget

Pada 2012 lalu, ia bercerita bahwa dirinya ke Rusia untuk mengajar. Saat di sana, ia merasa rindu terhadap kota Bandung.

Lalu menulis satu kalimat yang berkata “Dan Bandung bagiku bukan cuma masalah geografis, lebih jauh dari itu melibatkan perasaan yang bersamaku ketika sunyi” yang selanjutnya, quote tersebut di pasang di dinding trotoar Alun-alun kota Bandung.

“Tahu-tahu ditempel di dinding alun-alun. Saya tahunya ada yang mention ke saya di Twitter bilang kalau yang memilih font dalam tulisan tersebut adalah suaminya,” katanya.

Baca Juga: Jokowi Diminta Hindari Gaya Otoriter, Pendiri Mizan: Jangan Gengsi Mendengar Rakyat

Saat di Rusia juga, saking rindunya, Pidi telah merancang konsep serial novel Dilan. Namun ia berpikir bahwa tokoh yang ia ceritakan dalam novel tersebut adalah anggota geng motor yang memiliki citra negatif. Namun ia menganalogikan dengan cerita Firaun yang dikisahkan dalam Alquran untuk diambil ibrahnya.

“Bicara Dilan itu tidak untuk diikuti, sama seperti Firaun. Hanya untuk diambil ibrahnya saja. Terus juga pernah ada yang membandingkan Dilan dengan Muhammad Al Fatih yang sudah bisa menaklukkan Konstantinopel pada usia muda. Terus saya jawab aja jangan dibandingkan dengan Al Fatih atuh, da si Dilan mah orang Ciwastra,” kata dia diikuti suara tawa moderator.

Ketika diundang untuk menghadiri beberapa penghargaan novel serial Dilan, Pidi mengaku bahwa dirinya tidak pernah hadir karena merasa malu.

Baca Juga: Ormas Islam Demo di Dekat Istana, Denny Siregar Singgung Soal DP Rumah Rp500 Juta

Analoginya, katanya, malu seperti ketika ia menolong seseorang terus dielu-elukan. Pernah suatu ketika, kata dia, dirinya datang ke sebuah supermarket yang sedang memutar lagunya, tahu akan itu, ia langsung pergi lagi, karena merasa malu.

Saat novel Dilan melejit, menurut Pidi, banyak PH (production house) yang tertarik untuk mengangkat novel tersebut ke layar lebar. Namun, banyak yang gagal karena Pidi ingin dirinya yang jadi sutradara.

“Pernah ada PH yang nawar sampai Rp 3 miliar, tapi ketika syaratnya saya yang harus jadi sutradara, mereka pada nggak mau karena tahu saya nggak ada pengalaman jadi sutradara. Akhirnya ada PH yang mau saya jadi sutradara yaitu Max Picture dengan harga Rp 250 juta. Nggak apa-apa. Asal saya yang jadi sutradara,” katanya.

Baca Juga: Diungkap Kerabat Kerajaan, Baru Empat Hari Menikah Meghan Markle Sudah Jadi Gunjingan Istana

Konsisten karena hal itu, Pidi mengaku karena tidak ingin film yang diangkat dari novelnya diadaptasi terlalu jauh dari buku. Buktinya, saat ia menjadi sutradara, ada salah satu adegan pada film Dilan yang awalnya akan berlatarkan gunung.

Ia sontak menolak karena latar dalam buku menunjukkan di tengah kota Bandung tepatnya Buah Batu dan Ciwastra yang notabene tidak ada gunung.

Pada akhir sesi diksusi, Pidi berpesan kepada siapa pun yang ingin dan sudah jadi penulis untuk tidak menjadikan pekerjaan tersebut berat.

Baca Juga: 10 Manfaat Puasa Senin Kamis Untuk Kesehatan, Mulai Cegah Kanker Hingga Alzheimer

“Mengalir saja, kedepankan kreativitas, jangan eksakta. Karena kalau prinsipmu kreativitas, pasti akan bikin hal baru, meski aka nada yang tidak menerima, tapi kalau prinsipmu eksakta, ya akan sama dengan umum. Barang siapa mengikuti orang lain dan tidak jadi dirinya sendiri, sebenarnya telah zolim terhadap dirinya sendiri,” katanya.

Terakhir, ia mengatakan bahwa manusia itu adalah miniatur alam semesta, lebih besar dari pujian dan cacian. *** (Revy Lestari.job)

Editor: Dadang Setiawan


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x