3 Maret 1924, Sejarah Runtuhnya Khilafah Islam Menjadi Republik Sekuler Turki

- 3 Maret 2021, 15:25 WIB
Khalifah Abdul Majid II (1922-1924 M), khalifah terakhir kaum muslim di dalam kekuasaan Khilafah. /Wikipedia
Khalifah Abdul Majid II (1922-1924 M), khalifah terakhir kaum muslim di dalam kekuasaan Khilafah. /Wikipedia /

GALAMEDIA – Dahulu kaum muslim pernah hidup di bawah kekuasaan negara Khilafah Islam yang dimulai sejak Khulafaur Rasyidin/Khilafah Rasyidah (632 M) hingga Utsmaniyah/Ottoman (1924 M).

Keruntuhan Khilafah pada 3 Maret 1924 merupakan hasil dari usaha para kaum nasionalis dan misionanis memisahkan kaum muslim dari kekuasaan islam.

Abdul Qadim Zallum dalam bukunya Kaifa Hudimatil Khilafah menceritakan detik-detik peristiwa keruntuhan Khilafah.

Baca Juga: Minta Tak Saling Salahkan, Presiden Jokowi: Jangan Pas Ada Bencana, Kita Baru Pontang-panting Sampai Ribut

Hal ini berawal dari Eropa yang mulai mengubah strategi perang fisik yang selalu kalah melawan kaum muslim, menjadi perang pemikiran.

Pada abad ke-16, para misionaris dari Prancis, Inggris, dan Amerika mulai diterjunkan untuk mendirikan markas di Istambul, Turki dan Beirut, Lebanon.

Awalnya para misionaris berfokus membahas keagamaan dan budaya relijius, namun setelah tahun 1820, mereka mulai fokus menyebarkan pendidikan.

Kemudian pada 1834, pengaruh misionaris atas ide sekuler, nasionalisme, dan separatism berhasil menyebar ke seluruh Syam atas bantuan agen Prancis, Ibrahim Pasha.

Ibrahim Pasha merupakan anak dari Gubernur Mesir Muhammad Ali. Prancis pun turut mempengaruhi Ali memerangi Khilafah pada 1831.

Baca Juga: Dua TKW Asal Karawang Terpapar Virus Corona Varian Baru Setelah Pulang dari Saudi Arabia  

Muhammad Ali menyerang pemerintah pusat dan berhasil menguasai Palestina, Lebanon, dan Suriah serta mulai menyusup ke Anatolia, Turki.

Namun pembelotan tersebut diserang balik oleh pasukan yang dikirim Khalifah Mahmud II (1808-1839 M).

Saat masa Khalifah Abdul Majid I (1839-1861 M), tepatnya Juli 1840, Inggis, Rusia dan Jerman membentuk Quadrilateral Alliance (Aliansi Empat Negara) bersama Khilafah.

Aliansi itu dibentuk untuk menentang serangan Gubernur Mesir atas perintah Prancis yang menguasai Syam.

Akhirnya Muhammad Ali beserta pasukannya kembali ke Mesir dan mengembalikan Syam kepada Khalifah.

Di sisi lain, para misionaris masih terus bergerak hingga pada 1842 mendirikan asosiasi ilmiah yang diprogram langsung komite dari The American Mission.

Baca Juga: Kejutan untuk Pelatih Kiper Persib di Stadion GBLA, Selamat Ulang Tahun Coach

Lalu pada 1847 didirikan asosiasi serupa dengan nama berbeda yakni The Science and Arts Association yang dipimpin oleh Butrus al-Bustani dan Nasif al-Yaziji.

Kedua orang tersebut merupakan kaki tangan Inggris yang didukung oleh Kolonel Churchill dari Inggris dan Eli Smith serta Cornilos Van Dick dari Amerika.

Butrus al-Bustani dan Nasif al-Yaziji adalah tokoh cikal bakal yang mengawali istilah “Hubbul Wathan Minal Iman” (cinta tanah air bagian dari iman).

Semboyan itu sengaja diciptakan untuk menumbuhkan sentimen nasionalisme dan separatisme agar kaum muslim terpecah-belah dan dianggap semboyan itu sebagai sebuah hadits.

Di kalangan elit pemerintahan, Inggris dan negara-negara mendesak Khilafah untuk melakukan reformasi konstitusional pada 1855.

Baca Juga: Snack Video Tidak Bisa Dibuka, Inilah Penyebabnya

Khalifah Abdul Majid I pun mengeluarkan rancangan konstitusi reformasi bernama Dokumen Hemayun yang isinya disesuaikan dengan Naskah Yang Mulia (Kalkhanah).

Akhirnya upaya Inggris dan Prancis berhasil, Khilafah Islam kemudian mulai menerapkan konstitusi yang bukan berasal dari Islam.

Pada 1857, Khilafah mengeluarkan UU Hukum Pidana Negara Utsmani, 1858 keluar UU Keuangan dan Perdagangan.

Lalu 1870, Khilafah membagi peradilan menjadi dua bagian yakni syariah dan umum (sipil) ala Barat.

UU Peradilan Sipil pun dibentuk pada 1877 dan 1878 keluar UU Pemilikan dan Pidana.

Pada tahun itu pun, Syaikhul Islam, sebuah lembaga ulama kenegaraan, mengeluarkan fatwa untuk membolehkan Khilafah mengadopsi Demokrasi Barat.

Inilah cikal bakal kaum muslim menerima Demokrasi dan menganggap itu merupakan bagian dari Islam.

Baca Juga: Polemik UU Omnibuslaw Kembali Memanas, Rocky Gerung: Hanya Sekedar Juru Tulis dari Kekuatan-kekuatan Besar

Ketika masa Khalifah Muhammad Risyad V (1909-1918 M), Khilafah ikut dalam Perang Dunia I bersekutu dengan Jerman melawan Inggris di pertempuran Gallipoli pada 1915.

Khilafah memenangi pertempuran tersebut dan mengusir angkatan laut Inggris. Di sinilah muncul Mustafa Kemal Attaturk yang dianggap pahlawan.

Saat ini, Mustafa Kemal sebagai seorang perwira junior yang telah memenangkan pertempuran, meski pada 25 April 1915, Inggris berhasil merebut kembali Gallipoli.

Khilafah pun pada akhirnya pada setelah Perang Dunia I berakhir pada 1918, namun Inggris dan Prancis sudah lebih dulu memecah-belah wilayah Khilafah lewat Perjanjian Sykes Picot pada 16 Mei 1916.

Mustafa Kemal semakin dikenal masyarakat, dirinya pun berperan sebagai agen Inggris untuk menyetujui penghapusan Khilafah dan pendirian Republik Sekuler Turki.

Hingga akhirnya pada 3 Maret 1924, Majelis Nasional yang dibentuk Mustafa Kemal menyatakan penghapusan Khilafah.

Esoknya, Khalifah terakhir kaum muslim, Abdul Majid II dijemput oleh pasukan istana dan diasingkan ke Swiss.***

Editor: Lucky M. Lukman


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x