Usai Taliban Berkuasa, Warga Afghanistan Khawatirkan Jejak Digital Digunakan Untuk Melacaknya

- 20 Agustus 2021, 23:01 WIB
Seorang anggota Taliban berdiri di depan Kementerian Dalam Negeri di Kabul, Afghanistan.
Seorang anggota Taliban berdiri di depan Kementerian Dalam Negeri di Kabul, Afghanistan. /REUTERS/Stringer.


GALAMEDIA - Kekhawatiran tentang data sensitif yang jatuh ke tangan Taliban setelah mereka menguasai Afghanistan telah menghidupkan kembali perdebatan di kalangan pakar keamanan terkait etika pengumpulan data oleh badan-badan bantuan dan institusi multilateral.

Ketika kelompok itu menduduki Ibu Kota Kabul pada Minggu, 15 Agustus 2021, penduduk menjadi resah jika data biometrik mereka yang dikelola badan-badan bantuan dan pasukan keamanan bisa digunakan untuk melacak dan mengincar mereka.

Para ahli privasi telah lama memperingatkan bahwa pengumpulan data biometrik oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan badan-badan pembangunan, dan pemberian kartu identitas digital telah memperbesar risiko bagi para pengungsi dan kelompok rentan lainnya.

"Tidak cukup perhatian diberikan oleh badan-badan bantuan pembangunan dan multilateral untuk memahami konteks secara lokal --siapa yang dapat menggunakan data itu, dan jika data itu bisa digunakan untuk mempertahankan ketidaksetaraan dan diskriminasi," kata Raman Jit Singh Chima dari kelompok hak asasi digital Access Now.

Baca Juga: Puji-puji Pemikiran Anis Matta, Rocky Gerung: Dulu Dikenal Radikal, Lho Kok Jadi Lain! Orang Jadi Kaget

"Dalam kasus Afghanistan, ini sangat mengejutkan, karena badan-badan tersebut tahu riwayat masalah di negara itu, dan harusnya bersiap untuk skenario terburuk dengan mengambil pelajaran di Myanmar dan tempat lain," kata Chima.

Taliban telah menyita peralatan biometrik militer AS yang berisi data seperti hasil pemindaian iris mata dan sidik jari, dan informasi biografis yang bisa digunakan untuk mengenali orang-orang Afghanistan "yang membantu pasukan koalisi", kata The Intercept.

Bahkan, kartu identitas digital nasional Afghanistan, Tazkira, yang diperjuangkan oleh Bank Dunia sejak 2018 dan diperlukan untuk mengakses layanan publik, pekerjaan dan pemilu, bisa mengekspos kelompok-kelompok etnis yang rentan, kata Chima.

Bank Dunia membela kartu identitas itu dengan mengatakan "kemajuan pembangunan tidaklah mungkin jika sebagian besar populasi secara resmi tidak "eksis". Karena itu, memberikan identitas legal bagi semua orang sangat penting untuk pembangunan".

Maksud Baik

Halaman:

Editor: Dicky Aditya

Sumber: Reuters


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x