Peneliti IPRC: Internet Untuk Bantu Masyarakat, Sudah Diprediksi Bakal Timbulkan Masalah

- 14 September 2021, 19:15 WIB
Diskusi virtual 'Kebocoran Data dan Urgensi Omnibus law Elektronik', Selasa, 14 September 2021.
Diskusi virtual 'Kebocoran Data dan Urgensi Omnibus law Elektronik', Selasa, 14 September 2021. /Tangkapan layar./

GALAMEDIA - Dengan munculnya informasi peretasan terhadap 10 kementerian dan lembaga pemerintah Indonesia membuat publik mempertanyakan sistim proteksi dan kemanan siber di Indonesia.

Lebih jauh, permasalah siber di Indonesia bukan kali ini saja terjadi. Tetapi beberapa waktu ke belakang, kebocoran data beberapa lembaga juga telah terjadi.

Terbaru, Nomor Induk Kepegawaian (NIK) Presiden Joko Widodo bocor di dunia maya setelah mengikuti vaksin Covid-19.

Direktur Eksekutif Indonesian Politics Research and Cosulting (IPRC), Firman Manan mengatakan bahwa permasalah siber merupakan suatu konsekuensi dari perkembangan teknologi. Seperti kebocoran data KPU, BPJS, dan terakhir ada peretasan instansi dari cina.

Oleh karena itu, persoalan keamanan dan tata kelola siber menjadi hal yang mendesak untuk dikaji baik oleh akedimisi maupun pemerintah. Sehingga kedepannya, aturan melalui payung hukum yang jelas terkait jaminan kemanan siber di Indonesia harus segera hadir.‎

Baca Juga: Ali Mochtar Ngabalin Belum Serahkan LHKPN, Demokrat: Anda Telah Pertontonkan Contoh Gak Benar

"Jadi ini penting untuk dibahas, untuk tata kelolanya, Omnibuslaw tentang elektronik sudah mendesak, saya harap pembahasan diskusi ini bisa bermanfaat, tidak hanya IPRC, tapi juga tata kelola ruang siber," ungkapnya pada Diskusi virtual 'Kebocoran Data dan Urgensi Omnibus law Elektronik', Selasa, 14 September 2021. 

Sementara itu, Peneliti IPRC, M. Indra Purnama mengatakan bahwa, permasalahan penggunaan internet (siber) dalam tata kelola pemerintahan maupun kegiatan sehari-hari masyarakat sudah diduga oleh berbagai peneliti.

‎"Internet untuk membantu masyarakat, sudah diprediksi akan menimbulkan masalah. Dengan adanya internet, pola-pola kegiatan tak lagi seperti dulu yang mengandalkan administrasi serba tradisional. Dimana dengan internet, pergeseran hampir merambah ke semua sektor, mulai ekonomi, budaya, politik, sosial, agama, bahkan seksualita," tuturnya.

"Aktivitas ekonomi misalnya, jual beli lebih mudah, pola politik, seperti pilpres, komunikasi politik tak lagi harus tatap muka, bisa dengan daring, video, serangan kampanye politik, dan pengaruhnya sangat besar," terangnya.

Baca Juga: Bocoran 'My Universe', Single Kolaborasi Coldplay dan BTS yang Bakal Rilis 24 September 2021

Dikatakannya perkembangan dalam penggunaan internet (siber) memang tidak melulu berdampak positif, tapi juga sebaliknya. Menurutnya dengan kondisi saat ini, masalah siber tampaknya lebih sering terjadi yang berdampak pada kerugian individu maupuan instansi.

"Positifnya kecepatan, jarak, kemudahan, hampir semua tersedia di internet, Di sisi lain, negatifnya, pergeseran budaya, penumpukan informasi membuat susah membedakan informasi benar dan salah. Kebocoran data adalah bagian kecilnya, Permasalah siber yakni hoaks, pencurian data, cyber bullying, hate speech, pencemaran nama baik, propaganda, pornografi dan lain-lain," tuturnya.

Dikatakannya Titik permasalah siber di Indonesia dinilai bermuara pada tidak adanya aturan atau legal standing yang jelas. Sehingga, pemerintah perlu membuat suatu lembaga khusus terpusat yang berkonsentrasi mengawasi, mengatur, mensosialiasaikan bahkan bertindak dalam dunia siber.

Aggota komisi I DPR RI, Muhammad Farhan menyoroti lemahnya peran Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), dimana peran vital BSSN saat ini tidak maksimal. Bahkan menyayangkan adanya pemotongan anggaran dari Badan yang langsung berada di bawah Presiden tersebut.

Baca Juga: Dudung Abdurachman Minta Hindari Fanatik Berlebihan Terhadap Agama, ProDem: Bapak Tak Layak Bicara Seperti itu

"BSSN menjadi pelaksana tugas, pelindungan data pribadi, Kami sangat menyayangkan, kita sering kritis, BSSN tidak bertaring, kebijakan afirmatif untuk mendukung tidak kuat, Anggaran untuk 2020 potong 50 persen, ini mengkhawatirkan, akibatnya seperti sekarang ini," jelasnya.

Farhan mengungkapkan potensi kejahatan siber di Indonesia begitu besar. Keamanan sistem atau tata kelola terhadap administrasi publik belum begitu terjamin. Akibatnya, penyalahgunaan data pribadi dinilai bukanlah suatu hal yang sulit untuk dilakukan oleh pihak-pihak yang ingin mengambil keuntungan.‎

Sebenarnya pihaknya sudah kerap kali mendorong terwujudnya Undang-undang Perlindungan Data Pribadi. Namun sampai saat ini, UU tersebut masih menjadi pembahasan yang alot.‎

"RUU PDP, sudah didorng tahun 2015, tapi masih macet, argumennya banyak. Semuanya saling interplaining," katanya.

Juru Bicara BSSN, Anton Setiawan membenarkan bahwa potensi kejahatan siber cukup besar di Indonesia. Dimana terdapat ratusan juta serangan siber yang menyasar tiga lapisan ruang siber yang meliputi lapisan fisik (insfrastruktur), lapisan logika (sistim dan aplikasi), dan lapisan sosial (orang atau cyber persona).‎

"Bahwa ada potensi serangan, memiliki efek yang luar biasa kalau tidak dikendalikan, di tahun 2019-2020 ada 130-190 juta, lalu sampai 400 juta serangan siber, kalau dihitung perhari ada1,3 juta serangan," ucapnya.‎

Anton menuturkan kemanan siber tidak dapat mengandalkan hanya satu lembaga. Diperlukan suatu kolaborasi baik dari masyarakat maupun pemerintah.‎

"Dokumen elektronik dan non elektrinik harus mendapat perlindungan yang sama,Kemanan siber menjadi tanggung jawab bersama, harus kolaborasi. Tantangannya, transformasi digital, kolaborasi multi-stakholder, kapabilitas SDM, dominasi teknologi luar/asing, dan literasi budaya kemanan siber," tegasnya.

BSSN, lanjutnya, saat ini memang memiliki keterbatasan. Namun hal itu tidak menjadikan BSSN lemah, bahkan pihaknya terus bekerja sesuai dengan tugas pokok dan fungsi BSSN.‎

"BSSN mencoba mendorong UU, dengan serangan siber yang sangat masif, mencoba untuk membuat strategi kemanan sipil nasional, baik regulasi, tata kelola, kesiapsiagaan, industri kemanan siber, diplomasi siber, dan budaya kemanan siber," paparnya.

Baca Juga: Sesar Lembang Bisa Picu Gempa Magnitudo 6,8 dan Aktivitas Vulkanis Tangkuban Parahu, BNPB Mulai Bergerak

‎Guru Besar Ilmu Politik dan Kemananan Universitas Padjajaran, Muradi mengatakan bahwa omnibus law elektronik menjadi hal yang mendesak saat ini. Pasalnya, kejahatan-kejahatan siber saat ini semakin besar dan bisa menyasar siapa saja.

"Negara perlu membuat regulasi, dan melibatkan BSSN‎, aturan legal terkait digital siber, saya kira penting omnibaslaw perlu dipertimbangkan saat ini," ucapnya.

Dalam catatannya, setidaknya ada beberapa permasalah di dunia siber. Seperti ada peretasan, kebocoran data, berita hoaks massif, serangan siber, pencurian data, dan transaksi ilegal.‎

"Ada urgensi umnibus law elektronik, karena ancaman siber itu tidak main-main, Negara dimana bisa hadir, negara harus bertanggung jawab," tambahnya.***

Editor: Dicky Aditya


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x