"Tempat ibadah ini sangat kami butuhkan mengingat jarak masjid terdekat dengan rumah warga mencapai tiga kilometer, sehingga kami berinisiatif membangun mushola dengan dana patungan," lanjut dia.
Dalam prosesnya, pembangunan mushola itu justru dipersoalkan oleh pihak pengembang. Pasalnya, bangunan dianggap menyalahi aturan dengan alasan bahwa sesuai perizinan, tanah itu diperuntukkan bagi rumah tinggal.
"Katanya izinnya untuk rumah tinggal. Padahal dalam perjanjian jual beli dengan pengembang, penggunaan lahan itu dikuasakan pada pemilik, agar digunakan secara tanggung jawab. Tapi ternyata dipersoalkan hingga digugat karena dinilai wanprestasi," ungkap Rahman.
Rahman memastikan, warga tidak serta merta membangun mushola. Sebelumnya, warga menempuh perizinan mulai dari persetujuan warga hingga mengurus izin ke Pemerintah Kabupaten Bekasi.
"Berdasarkan aturan, izin itu sebenarnya tinggal menunggu rekomendasi dari Dinas PUPR, seluruh persyaratannya telah dipenuhi, tapi pihak PUPR katanya minta harus ada persetujuan dari pengembang. Padahal dalam aturannya tidak harus. Ini yang juga jadi pertanyaan kami," jelasnya.
Rahman menegaskan seluruh warga turut meladeni proses gugatan tersebut. Bahkan warga siap memenuhi persyaratan yang diajukan pengembang selaku penggugat namun dalam proses mediasi tidak tercapai kemufakatan.
Pada sisi lain persyaratan yang diajukan pengembang itu pun melenceng dari substansi gugatan tentang wanprestasi. Pengembang dinilai malah mengintervensi kegiatan mushola.
Menurut dia, dalam persyaratan yang diajukan, penggugat melarang mushola yang didirikan warga menggelar Shalat Jumat. Mushola juga tidak diperbolehkan mengumandangkan azan dengan pengeras suara serta dilarang menggelar pengajian.
Baca Juga: Minta Tolong Masyarakat, Mabes Polri: Laporkan Jika Menemukan Polisi Masuk Tempat Hiburan