Tak Sengaja Bocor di Media, Berbagai Upaya China Kurangi Populasi Muslim

4 Maret 2021, 21:15 WIB
/

GALAMEDIA - Program tenaga kerja China bagi warga etnis Uighur di Xinjiang dirancang untuk mengurangi populasi kelompok minoritas muslim.

Demikian diungkap sebuah studi yang secara tidak sengaja dipublikasikan secara online.

Dikutip Galamedia dari DailyMail, Kamis (4 Maret 2021) laporan yang ditulis para akademisi di Universitas Nankai itu dibuat offline pada pertengahan 2020 setelah diterbitkan pada Desember 2019.

Baca Juga: Tahun 2021, Pemerintah Pusat Buka Penerimaan 189 Ribu Pegawai untuk Pemerintah Daerah, Ini Proporsinya

Tetapi salinan yang diarsipkan berhasil ditemukan dan disimpan oleh seorang peneliti di luar China sebelum universitas menyadari kesalahannya, demikian BBC melaporkan.

Dr Adrian Zenz, pakar kebijakan China terhadap Uighur, menganalisis laporan tersebut dan membuat salinan terjemahan versi bahasa Inggris.

Laporan tersebut menyatakan langkah jangka panjang dari memindahkan warga etnis Uighur dengan pekerjaan baru di luar jantung di Xinjiang tidak hanya mengurangi kepadatan penduduk Uighur di Xinjiang, tetapi juga merupakan metode penting untuk mempengaruhi dan mengasimilasi minoritas Uighur.

Baca Juga: Loyalis AHY Tiba-tiba Dukung KLB Partai Demokrat, Netizen: Di-Hack Kayaknya Nih...

"Biarkan mereka secara bertahap mengubah pemikiran dan pemahaman mereka, dan mengubah nilai-nilai dan pandangan hidup mereka melalui perubahan lingkungan dan melalui pekerjaan buruh," ungkap laporan tadi.

Laporan juga merekomendasikan agar program-program serupa diperluas ke wilayah timur dan tengah China.

Dr Zenz menyatakan kutipan tersebut sebagai pengakuan paling mengejutkan dari laporan yang dianalisisnya.

Baca Juga: Pabrik di Rancaekek Memanfaatkan Hujan untuk Membuang Limbah Sembarangan, Warga: Harusnya Ditindak Tegas!

“Ini adalah sumber otoritatif yang belum pernah diungkap sebelumnya dan ditulis oleh akademisi terkemuka serta mantan pejabat pemerintah dengan akses tingkat tinggi ke Xinjiang itu sendiri,” katanya.

China membantah tuduhan kerja paksa dan transfer kerja, yang disebut sejumlah pakar hak asasi manusia dan pemerintah asing sebagai genosida budaya.

Belum termasuk kritik atas 'pusat pendidikan ulang' di Xinjiang di mana sekitar satu juta orang etnis Uighur ditahan secara sewenang-wenang.

Baca Juga: Survei Ungkap PDIP dan PSI Berjaya di DKI Jakarta, NSN: PSI Vokal Kritik Anies dan Mengawal Uang Rakyat

Pemerintah China mengatakan bahwa program kerja tersebut bersifat sukarela dan ditujukan untuk menanggulangi kemiskinan.

Laporan juga menekankan sifat 'sukarela' dari program tersebut, tetapi informasi yang disertakan tampaknya bertentangan dengan klaim Beijing, termasuk target ekspor pekerja dan kebutuhan akan penjaga keamanan dalam tim pengadaan tenaga kerja.

Baca Juga: Deretan Aktor Hollywood dengan Penghasilan Tertinggi, Ada Nama Akshay Kumar!

Dalam sebuah pernyataan kepada BBC, pemerintah China mengatakan laporan yang kini ramai itu hanya mencerminkan pandangan pribadi penulis dan banyak isinya tidak sejalan dengan fakta.'

Selain itu laporan juga menunjukkan tindakan terhadap populasi Uighur, yang sebagian besar penganut Muslim dilakukan dengan ekstrem.

Sejumlah orang Uighur juga ditempatkan di pusat-pusat penahanan dengan jumlah total jauh melebihi mereka yang dicurigai ekstremis.

Baca Juga: Ingatkan Soal Gempa Magnitudo 9,1, Menko Marves Luhut Pandjaitan: Bosok Bisa Saja Terjadi Tsunami

“Penduduk Uighur tidak boleh dianggap sebagai perusuh, ini sangat merusak stabilitas jangka panjang Xinjiang."

Pihak berwenang China sebelumnya mengatakan 'pusat pendidikan ulang' di Xinjiang adalah pusat pelatihan kejuruan untuk memerangi ekstremisme agama.

China sendiri sempat membantah keberadaan kamp penahanan Uighur.

Baca Juga: Kronologis Kematian Deng Jia Xi Saat Terjadinya Kericuhan di Myanmar

Tindakan keras terhadap warga Uighur dilakukan menyusul dua serangan brutal terhadap pejalan kaki di Beijing pada 2013 dan Kunming pada 2014, yang dilakukan oleh ekstremis Uighur.

China diyakini berusaha untuk 'mendidik kembali' warga Uighur dengan mengganti loyalitas berbasis budaya dan agama dengan kesetiaan kepada Partai Komunis.

Laporan tersebut mengatakan beberapa otoritas lokal dan provinsi menolak menerima pekerja dari Xinjiang dengan alasan 'keamanan', situasi yang dikatakan turut menciptakan hambatan serius dalam mewujudkan tujuan negara.

Baca Juga: Stres Gara-gara Pandemi Covid? Anda Bisa Ikut Konsultasi Psikologi Gratis di Guardian Hingga 31 Maret 2021.

Tinjauan Dr Zenz atas laporan tersebut termasuk analisis hukum oleh mantan penasihat senior Museum Peringatan Holocaust AS, Erin Farrell Rosenberg.

Rosenberg menemukan alasan yang dapat dipercaya untuk menyimpulkan bahwa program transfer tenaga kerja Uighur memenuhi kriteria dua kejahatan terhadap kemanusiaan yaitu penganiayaan dan pemindahan paksa.

"Ada bukti substansial bahwa pemerintah China melakukan serangan yang luas dan sistematis terhadap penduduk sipil Uighur sesuai dengan kebijakan pemerintah," kata Rosenberg.

Baca Juga: Prabowo-Airlangga Jalin Kekuatan Jelang Pilpres 2024? Partai Golkar: Di Masa Ini Kami Harus Berangkulan

Diperkirakan satu juta orang Uighur telah ditahan secara paksa di China di tengah laporan sterilisasi paksa, serangan seksual terhadap wanita Uighur, selain pengawasan ketat dan penghancuran praktik serta situs budaya dan situs agama.

China tetap membantah tuduhan dengan mengatakan pihaknya tengah  membahas kunjungan kepala hak asasi manusia PBB Michelle Bachelet ke Xinjiang.

Bachelet mengatakan penilaian menyeluruh dan independen atas situasi di Xinjiang diperlukan menyusul laporan penahanan sewenang-wenang, kekerasan seksual dan kerja paksa.

Baca Juga: PSSI Baru Ajukan Izin Sehari Sebelum Laga, Polri Sebut Uji Coba Timnas Ditunda Bukan Batal

"Pintu ke Xinjiang selalu terbuka, dan kami menyambut komisaris tinggi untuk mengunjungi Xinjiang," kata delegasi China Jiang Duan kepada dewan hak asasi manusia PBB.

“Komunikasi tetap terjaga di antara kedua belah pihak, tetapi tujuan dari kunjungan ini adalah memberikan pertukaran informasi dan kerja sama berdasar prinsip asas praduga tak bersalah hingga bukti konkret ditemukan.”***

Editor: Mia Fahrani

Sumber: dailymail

Tags

Terkini

Terpopuler